Musim hujan di Jakarta selalu punya cerita, seperti sore itu di jalan depan mall Ambasador/ITC Kuningan yang berseberangan dengan kawasan Mega Kuningan. Di tengah-tengah badan jalan, ada saluran air (sungai ungu)* dan boulevard bertanah merah. Tanah merah inilah yang sering jadi masalah.
Aku sering ke kawasan itu. Sering pula melewati tanah basah sisa siraman hujan di sana dan harus kuakui, pengalaman itu cukup menyulitkan. Tanah merah itu menjadi sangat liat setelah basah disiram air hujan. Saat terinjak, tanah akan menggumpal dan terbawa di bagian bawah sepatu kita. Kalau sudah begitu, hati-hati melangkah. Bukan saja telapak kaki jadi terasa berat, tetapi basah di tahan merah itu juga sangat licin saat kaki menapak.
Aku pernah ketemu seorang perempuan yang tampak ragu melewati titian besi untuk menyeberangi sungai ungu menuju Mal Ambasador. Waktu itu, aku berada di sisi seberangnya. Setengah ia berjalan meniti besi, aku mengulurkan tangan memberi bantuan. Ia berterima kasih lalu mengadu, bahwa ia begitu ketakutan melangkah karena baru saja terpeleset. Sewaktu ia sudah lewat, aku meniti besi itu pelan-pelan. Nggak lucu kan kalau setelah nolong orang, aku sendiri yang kepleset! Hehehe…
Sampai di seberang jalan, tapak sepatu kedsku sudah penuh lumpur. Tidak terlalu menyulitkan saat melintas di jalan aspal, tetapi tidak saat aku berjalan di atas trotoar yang berlantai keramik. Aku menjadi mengerti mengapa mbak tadi begitu ketakutan melangkah. Semakin mengerti lagi ketika seorang pemuda terpeleset tepat di depanku. Untung ia segera berpegangan pada sebatang pohon. Lumpur di tapak sepatu dan genangan air di trotoar keramik adalah dua hal berbahaya. Kini keduanya harus dihadapi bersamaan.
Demi menghindari kecelakaan, aku mencoba membersihkan tapak sepatu. Pertama-tama aku mencari sudut semen untuk mengerik lumpur di tapak sepatu. Setelah itu aku memanfaatkan air yang menggenang di trotoar untuk mencuci tapak sepatu. Sedikit berkecipak. Hasilnya memang lumayan, tapi tidak seratus persen nyaman berjalan di trotoar basah itu. Akhirnya, aku memilih berjalan di atas rumput di sisi trotoar, di depan air mancur dan tugu bertuliskan Mega Kuningan. Rumput itu seperti keset. Tanahnya tidak lagi liat dan licin setelah ditutup rumput dan aku tidak takut lagi terpeleset. Selain itu, saat berjalan di atasnya aku bisa sekalian membersihkan sisa tanah di tapak sepatuku.
Harus diakui, lantai keramik bukan gunanya untuk melapisi trotoar apalagi di tempat yang sering mendapat siraman hujan. Keramik tidak mempunyai pori-pori untuk meresapkan air. Akibatnya, air hujan menggenang. Tapak sepatu yang dilekati lumpur menjadi dua kali lebih beresiko terpeleset di atas trotoar.
Aku juga pernah membaca di koran beberapa waktu lalu, jika trotoar terbuat dari bahan yang tidak meresapkan air maka semakin kecil daerah resapan air. Akibatnya air hujan yang tidak tertampung di selokan akan mengalir ke badan jalan yang lebih rendah. Ya udah, banjir deh namanya. Lalu macet. Katanya, konblok adalah bahan yang cukup baik. Tapi rumput juga menyenangkan menurutku…
* Baca “Sungai Ungu Jakarta” di bagian sebelumnya.
Wednesday, December 21, 2005
Thursday, December 01, 2005
siasat botol air
Kemarin aku kehilangan botol air: wadah transparan, warna biru, merek nalgene. Sepertinya ketinggalan di kantin belakang kampus. Anehnya, hari itu aku beberapa kali menimang dan merasa bahwa aku melakukan sesuatu yang tepat dengan membeli botol itu dan membawa air dari rumah setiap hari.
Ada banyak alasan untuk membawa air sendiri. Yang pertama jelas penghematan. Setidaknya aku bisa menyimpan dua ribu rupiah setiap hari, itu pun hanya untuk sebotol aqua atau teh botol sekali minum. Lebih dari itu, aku bisa minum setiap saat aku haus.
Lalu aku baru denger ada cerita tentang aqua isi ulang. Ini cerita dari Ige, temen di kampus. Dia cerita kalau sodaranya ngeliat ada orang yang lagi ngisiin gelas-gelas aqua di kamar mandi terminal! Oops! Udahnya air ledeng, di kamar mandi terminal lagi! Yang aku bayangin, kamar mandi itu bukan tempat yang menyenangkan sama sekali. Aqua-aqua itu lalu ditutup lagi dengan plastik segelnya, dilem, lalu dijual seperti biasa, tanpa rasa bersalah.
Masih berpikir untuk beli aqua sembarangan?
Anyway, ini Jakarta. Ada banyak artificial di sana. Tak hanya sikap, basa-basi, atau gaya hidup. Tapi juga pewarna pada lontong, terasi, sampai kerang laut. Formalin pada tahu, bakso, ikan asin, bahkan ikan laut segar. Juga campuran – entah apa namanya – untuk ketupat, bubur ayam, sampai daun singkong di warung padang.
Mungkin karena orang lebih mementingkan bungkus dari pada isinya. Kalau baca artikelnya Samuel Mulia, orang bisa bersiasat segala macem untuk bisa pake tas Louis Vitton. Di bagian lain Jakarta, orang menyiasati penampilan makanan dengan pewarna atau campuran kimia lainnya. Masih pengen beli makanan di jalan?
Udah deh, mending bawa botol air kemana-mana. Kalau perlu sama paket makan siang nasi dari rumah… Irit dan lebih aman. Hehehe…
Labels:
gaya hidup,
jakarta,
kota,
pedestrian,
ramah lingkungan
Tuesday, September 13, 2005
lintas melawai
Aku suka sekali baju berbahan linen. Pada awal masa kuliahku, di akhir 90-an, sama sekali tidak mudah menemukan baju linen di pasaran. Sekalinya ketemu, aku pasti bisa bela-belain membelinya. Kadang aku pun bela-belain mengusahakannya sendiri dengan beli kain dan pergi ke penjahit. Aku tidak menunggu pasar menyediakan gayaku.
Pokoknya mah, linen itu aku banget…
Tapi belakangan aku keteteran juga ketika toko-toko sudah menjual apa saja. Semua gaya ada, termasuk linen favoritku. Awalnya senang-senang aja ketika dengan mudah menemukan sesuatu yang bisa bikin aku mengguman gue banget. Tapi lama-kelamaan, aku jadi kehilangan sensasi being different. Apalagi ketika baju-baju berbahan looks-like-linen mulai masuk di toko-toko Melawai atau Mangga Dua. Walah, pasaran banget!
Memang begitulah, barang-barang yang dijual di Melawai kebanyakan looks-like-something. Saat trend pasmina yang kalau di Mall berharga sampai ratusan ribu, kamu bisa dapet barang yang sekilas sama dengan harga hanya 25.000 di Melawai. Lalu ketika trend orang pake blazer. Mau warna merah, kuning, ijo, atau pink, semua ada di Melawai.
Jangankan baju berbahan linen kesukaanku, bahkan waktu jamannya baju distro yang dulunya muncul dengan semangat indie (yang pengen keluar dari sistem pasar) sekarang bisa ditemukan di Melawai. Entah indie beneran atau cuma looks-like-distro. Yang jelas beberapa kaos dengan disain ala distro itu juga mencantumkan mereknya besar-besar: distro. Jadi pasti benar ini baju distro :)
Tapi bagaimanapun juga, Melawai – seperti juga distro – menjadi counter bagi mal-mal dengan kapital dan jaringan konglomerasi yang hebat. Satu hal yang menyenangkan, kadang kala Melawai menyediakan trendnya sendiri yang tidak dapat dikejar oleh mall. Misalnya, sandal plastik berwarna-warni, justru sangat mudah didapatkan di Melawai.
Tapi tentang baju linen yang jadi pasaran, tetap saja membuatku gelisah. Mungkin aku harus mencari sesuatu yang baru, sesuatu yang benar-benar independent dan individually. Jika bukan lagi baju berbahan linen, atau kaos produk distro yang sekarang dipakai banyak orang, mungkin saya harus menjadi anti-trend karena justru lebih banyak orang merasa nyaman dengan memakai produk yang juga dipakai banyak orang.
*Beberapa hari yang lalu, pasar melawai kebakaran. aku melihat kepanikan para pedagang pagi itu. Jangan, jangan menyerah, karena gaya orang satu Jakarta ada di sana…
Pokoknya mah, linen itu aku banget…
Tapi belakangan aku keteteran juga ketika toko-toko sudah menjual apa saja. Semua gaya ada, termasuk linen favoritku. Awalnya senang-senang aja ketika dengan mudah menemukan sesuatu yang bisa bikin aku mengguman gue banget. Tapi lama-kelamaan, aku jadi kehilangan sensasi being different. Apalagi ketika baju-baju berbahan looks-like-linen mulai masuk di toko-toko Melawai atau Mangga Dua. Walah, pasaran banget!
Memang begitulah, barang-barang yang dijual di Melawai kebanyakan looks-like-something. Saat trend pasmina yang kalau di Mall berharga sampai ratusan ribu, kamu bisa dapet barang yang sekilas sama dengan harga hanya 25.000 di Melawai. Lalu ketika trend orang pake blazer. Mau warna merah, kuning, ijo, atau pink, semua ada di Melawai.
Jangankan baju berbahan linen kesukaanku, bahkan waktu jamannya baju distro yang dulunya muncul dengan semangat indie (yang pengen keluar dari sistem pasar) sekarang bisa ditemukan di Melawai. Entah indie beneran atau cuma looks-like-distro. Yang jelas beberapa kaos dengan disain ala distro itu juga mencantumkan mereknya besar-besar: distro. Jadi pasti benar ini baju distro :)
Tapi bagaimanapun juga, Melawai – seperti juga distro – menjadi counter bagi mal-mal dengan kapital dan jaringan konglomerasi yang hebat. Satu hal yang menyenangkan, kadang kala Melawai menyediakan trendnya sendiri yang tidak dapat dikejar oleh mall. Misalnya, sandal plastik berwarna-warni, justru sangat mudah didapatkan di Melawai.
Tapi tentang baju linen yang jadi pasaran, tetap saja membuatku gelisah. Mungkin aku harus mencari sesuatu yang baru, sesuatu yang benar-benar independent dan individually. Jika bukan lagi baju berbahan linen, atau kaos produk distro yang sekarang dipakai banyak orang, mungkin saya harus menjadi anti-trend karena justru lebih banyak orang merasa nyaman dengan memakai produk yang juga dipakai banyak orang.
*Beberapa hari yang lalu, pasar melawai kebakaran. aku melihat kepanikan para pedagang pagi itu. Jangan, jangan menyerah, karena gaya orang satu Jakarta ada di sana…
bis kota keliling jakarta
Kemarin agak kaget ketika kenek bis patas Mayasari minta ongkos enam ribu satu orang. Katanya, emang gitu kalau rute Blok M – Cikarang. Tapi aku kan turun di Jatibening? Sama aja, katanya. Kecuali kalau naik dari Jatibening ke Blok M.
Sebenernya berapa sih ongkos resmi bis kota?
Kalau naik patas AC Cileduk-Senen, aku biasa bayar Rp. 3.500,00. Ini udah naik. Dulu sebelum BBM naik, ongkosnya Rp. 3.300,00. Kalau naik yang jurusan Pulau Gadung, kernetnya suka minta Rp. 4.000,00, tapi kalau aku bilang bahwa aku turun di Sudirman, tarifnya jadi tiga setengah lagi. Sekali waktu aku naik bis AC Blok M – Rawamangun. Kernetnya aku kasih duit lima ribuan. Eh, kembaliannya Rp. 1.700,00.
Terus terang aku agak bingung, apakah tarif bis Patas AC memang berlainan?
Lain lagi kalau naik Metromini 69 yang harusnya bayar Rp. 1.400,00. Setiap kali kasih 1.500,00 nyaris nggak pernah dapet kembalian. Emang sih, uang 100 buat satu orang mungkin kecil sekali artinya. Buatku, itu jatah untuk pengamen di bis. Tapi coba dihitung, kalau setiap penumpang satu bis, dalam sehari, menyumbang 100 rupiah! Pasti nominalnya gede juga.
Cuma, aku selalu inget mama pernah pesen. Kasusnya di Jogja sih, yang keneknya selalu ribut minta ongkos umum ke mahasiswa atau pelajar yang nggak pake seragam. Kata mama, mahasiswa memang miskin, tapi kok yang disuruh mensubsidi kernet bis. Artinya, orang miskin membantu orang miskin. Intinya jangan pelit ama kernet bis.
Makanya, aku kadang feel guilty juga kalau naik PPD 67 Senen – Blok M yang lewat Salemba. Soalnya, meskipun kasih duit dua ribu, pasti kembaliannya lima ratus. Padahal ongkos resminya Rp. 1.600,00. Viva 67, deh!
Sebenernya berapa sih ongkos resmi bis kota?
Kalau naik patas AC Cileduk-Senen, aku biasa bayar Rp. 3.500,00. Ini udah naik. Dulu sebelum BBM naik, ongkosnya Rp. 3.300,00. Kalau naik yang jurusan Pulau Gadung, kernetnya suka minta Rp. 4.000,00, tapi kalau aku bilang bahwa aku turun di Sudirman, tarifnya jadi tiga setengah lagi. Sekali waktu aku naik bis AC Blok M – Rawamangun. Kernetnya aku kasih duit lima ribuan. Eh, kembaliannya Rp. 1.700,00.
Terus terang aku agak bingung, apakah tarif bis Patas AC memang berlainan?
Lain lagi kalau naik Metromini 69 yang harusnya bayar Rp. 1.400,00. Setiap kali kasih 1.500,00 nyaris nggak pernah dapet kembalian. Emang sih, uang 100 buat satu orang mungkin kecil sekali artinya. Buatku, itu jatah untuk pengamen di bis. Tapi coba dihitung, kalau setiap penumpang satu bis, dalam sehari, menyumbang 100 rupiah! Pasti nominalnya gede juga.
Cuma, aku selalu inget mama pernah pesen. Kasusnya di Jogja sih, yang keneknya selalu ribut minta ongkos umum ke mahasiswa atau pelajar yang nggak pake seragam. Kata mama, mahasiswa memang miskin, tapi kok yang disuruh mensubsidi kernet bis. Artinya, orang miskin membantu orang miskin. Intinya jangan pelit ama kernet bis.
Makanya, aku kadang feel guilty juga kalau naik PPD 67 Senen – Blok M yang lewat Salemba. Soalnya, meskipun kasih duit dua ribu, pasti kembaliannya lima ratus. Padahal ongkos resminya Rp. 1.600,00. Viva 67, deh!
Tuesday, August 23, 2005
sungai ungu jakarta
Temanku bercerita, keponakannya yang datang dari Jogja terpesona melihat Jakarta yang apa-apa ada. Salah satunya adalah sungai ungu yang diseberanginya di depan Mal Ambasador.
Dia benar juga, air yang mengalir di saluran kota itu berwarna keunguan. Tetapi aktivis lingkungan pasti sama sekali tidak menganggapnya ajaib seperti ponakan temanku yang memang suka warna ungu.
Inilah Jakarta yang sungainya berwarna-warni.
Di dekat rumahku juga ada got yang airnya ungu di suatu titik. Lalu biru. Lalu hijau. Aku melewatinya tiap pergi dan pulang ke rumah. Sampai di ujung jalan, tempat aku biasa nunggu bis, kondisi saluran amat sangat menyebalkan. Sampah-sampah terlihat menumpuk di saluran itu. Sedikit-sedikit air mengalir, warnanya kehitaman. Seperti ada lender atau lumut kehijauan.
Aku pernah mengalami mandi di Batang Hari atau Tembesi di Jambi yang airnya coklat. Meski nggak dijamin sungai itu bersih, tapi aku yakin yang di buang ke sana adalah benda-benda organik. Tetapi kalau sudah berwarna ungu atau biru pasti ada 'sesuatu'...
Kalau hari hujan, saluran di ujung jalan rumahku justru meluap dan berkuranglah muatan sampahnya. Jalan-jalan memang jadi kotor karena sampah yang tadinya di dalam got meluap ke jalan. Tapi setelah hujan, justru got agak sedikit bersih.
Ini Jakarta: ketika aku harus pikir-pikir pakai sandal trepes yang terbuka, atau celana yang kepanjangan sampai ke telapak sepatu. Membayangkan apa yang akan aku injak, aku merasa sayang pada kaki dan celana jeansku. Kalau hujan, aku memilih melipir dari seberangnya karena aku sudah tahu apa saja yang meluap dari saluran itu.
Aku nggak tau salah siapa. Orang memang belum semuanya sadar untuk mengelola sampahnya dengan benar. Juga, pelayanan collecting sampah belum sepenuhnya baik. Please, deh!
* seminggu setelah aku menulis ini, got di perempatan jalan dibersihkan. Memang sudah seharusnya karena saat itu, air terus meluap meskipun tidak hujan. Hasil pembersihan adalah 20-an karung kotoran.
Dia benar juga, air yang mengalir di saluran kota itu berwarna keunguan. Tetapi aktivis lingkungan pasti sama sekali tidak menganggapnya ajaib seperti ponakan temanku yang memang suka warna ungu.
Inilah Jakarta yang sungainya berwarna-warni.
Di dekat rumahku juga ada got yang airnya ungu di suatu titik. Lalu biru. Lalu hijau. Aku melewatinya tiap pergi dan pulang ke rumah. Sampai di ujung jalan, tempat aku biasa nunggu bis, kondisi saluran amat sangat menyebalkan. Sampah-sampah terlihat menumpuk di saluran itu. Sedikit-sedikit air mengalir, warnanya kehitaman. Seperti ada lender atau lumut kehijauan.
Aku pernah mengalami mandi di Batang Hari atau Tembesi di Jambi yang airnya coklat. Meski nggak dijamin sungai itu bersih, tapi aku yakin yang di buang ke sana adalah benda-benda organik. Tetapi kalau sudah berwarna ungu atau biru pasti ada 'sesuatu'...
Kalau hari hujan, saluran di ujung jalan rumahku justru meluap dan berkuranglah muatan sampahnya. Jalan-jalan memang jadi kotor karena sampah yang tadinya di dalam got meluap ke jalan. Tapi setelah hujan, justru got agak sedikit bersih.
Ini Jakarta: ketika aku harus pikir-pikir pakai sandal trepes yang terbuka, atau celana yang kepanjangan sampai ke telapak sepatu. Membayangkan apa yang akan aku injak, aku merasa sayang pada kaki dan celana jeansku. Kalau hujan, aku memilih melipir dari seberangnya karena aku sudah tahu apa saja yang meluap dari saluran itu.
Aku nggak tau salah siapa. Orang memang belum semuanya sadar untuk mengelola sampahnya dengan benar. Juga, pelayanan collecting sampah belum sepenuhnya baik. Please, deh!
* seminggu setelah aku menulis ini, got di perempatan jalan dibersihkan. Memang sudah seharusnya karena saat itu, air terus meluap meskipun tidak hujan. Hasil pembersihan adalah 20-an karung kotoran.
Wednesday, July 13, 2005
dunia lain jakarta
Pagi ini terbangun dalam sleeping bag. Mungkin waktu butebut buit, yaitu ketika burung-burung mulai berbunyi. Dingin masih meresap pada lantai bambu ruma sokola yang tak berdinding. Berapit datang membawa air teh dalam gelas plastik. Ia melengkapi pagi indahku di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.
Sebelum aku keluar dari sleeping bag, beberapa anak yang semalam menemaniku tidur di ruma sokola sudah berkumpul. Selain Berapit, ada Penguwar, Beconteng, Sertu, Merensan dan Ngetepi. Mereka membuka-buka ensiklopedi anak-anak, yang lain mengambil kertas dan tulis: mereka sudah siap belajar!
“Sertu, berapo delapan dikalikan enom?” sambil masih tiduran, aku melontarkan pertanyaan. Si hitam Sertu lalu berhenti menggambar. Ia membentangkan kelima jarinya lalu menghitung. “Empat puluh?” dia menjawab tidak yakin. “Lagi mansih saloh. Ake bori mikae soal perkalian ma’e mikae cepat menghitung, ibo? Nang lain juga ake bori soal, ibo?” Jawabannya singkat nyaris bersamaan, “Ao…”
Menit selanjutnya aku sibuk menuliskan soal. Setiap anak kubuatkan sekitar dua puluh soal hitungan. Tidak ada yang sama, karena masing-masing memiliki kemampuan dan perkembangan yang berbeda-beda. Penguwar sudah mulai perkalian besesimpan (susun ke bawah) dengan angka besar dan soal cerita. Beconteng, Berapit dan Sertu, sekalipun bersamaan mulai belajar perkalian, aku tetap memberikan soal yang berbeda karena tingkat pemahaman mereka berbeda. Sementara Merensan baru mulai belajar angka belasan dan puluhan.
Selesai membuat soal hitungan, aku mengajari Ngetepi belajar membaca. Meski dia yang paling besar di sini (sekitar 14 tahun), tapi dia belum menguasai baca-tulis. Keluarganya sering berpindah dan berjalan jauh, maka dia tidak sempat mampir ke ruma sokola sebelum ini. Tak berapa lama kemudian, muncul anak-anak lain: Beranya yang pintar berburu, si kecil Penangguk, Beening, Bekepak, dan Jujur. Selanjutnya aku tidak sempat lagi menyantap sarapan pilo ditonuk (ubi bakar) karena anak-anak bergantian minta soal. Kalau aku sedang menulis soal atau memeriksa hasil hitungan, anak pemilik soal kupasrahi untuk mengajar Ngetepi membaca. Lucu sekali, karena usia mereka jauh di bawah Ngetepi. Kegiatan belajar berlangsung sampai matahari di atas kepala, tengah hari gegat, saat kami berhenti lalu berbagi tugas memasak dan mencuci piring.
Ini hari kelima aku di sini. Butet keluar hutan sejak dua malam yang lalu, jadilah aku mengajar anak-anak ini sendirian. Anak-anak ini sangat istimewa, mereka bagian dari komunitas Orang Rimba yang tinggal dan bergantung hidup pada hutan. Itu sebabnya naluri mereka begitu cepat membaca tanda-tanda alam. Seperti siang kemarin, tiba-tiba kelas belajar bubar. Anak-anak menghambur keluar pondok lalu beraksi dengan ketepelnya. Rupanya ada tupoi di atas pohon, dan tupoi adalah lauk bagi mereka.
Ini rimba, bukan Jakarta. Di mana waktu bergerak tanpa angka satu sampai dua belas. Aku bahkan melupakan tanggal. Tidak seperti tinggal di Jakarta yang mudah untuk menebak kisah, kami bahkan tidak memiliki rutinitas di sini. Hari ini makan nasi, mungkin besok hanya ubi kalau persediaan beras sudah habis. Itupun kami harus berjalan ke ladang keluarga salah seorang murid dan minta ubi di sana, agak satu ambung. Kalau kail dan lulum berhasil menangkap ikan, artinya kami makan ikan. Kalau tidak, mungkin hanya cecepeng atau tengkuyung (kerang dan siput sungai). Tadi ada pacet menempel di kakiku saat hendak turun mandi ke sungai. Kemarin malah ada ular dan lipan. Tetapi bagaimanapun, anak-anak ini menjagaku dengan baik!
Sebelum aku keluar dari sleeping bag, beberapa anak yang semalam menemaniku tidur di ruma sokola sudah berkumpul. Selain Berapit, ada Penguwar, Beconteng, Sertu, Merensan dan Ngetepi. Mereka membuka-buka ensiklopedi anak-anak, yang lain mengambil kertas dan tulis: mereka sudah siap belajar!
“Sertu, berapo delapan dikalikan enom?” sambil masih tiduran, aku melontarkan pertanyaan. Si hitam Sertu lalu berhenti menggambar. Ia membentangkan kelima jarinya lalu menghitung. “Empat puluh?” dia menjawab tidak yakin. “Lagi mansih saloh. Ake bori mikae soal perkalian ma’e mikae cepat menghitung, ibo? Nang lain juga ake bori soal, ibo?” Jawabannya singkat nyaris bersamaan, “Ao…”
Menit selanjutnya aku sibuk menuliskan soal. Setiap anak kubuatkan sekitar dua puluh soal hitungan. Tidak ada yang sama, karena masing-masing memiliki kemampuan dan perkembangan yang berbeda-beda. Penguwar sudah mulai perkalian besesimpan (susun ke bawah) dengan angka besar dan soal cerita. Beconteng, Berapit dan Sertu, sekalipun bersamaan mulai belajar perkalian, aku tetap memberikan soal yang berbeda karena tingkat pemahaman mereka berbeda. Sementara Merensan baru mulai belajar angka belasan dan puluhan.
Selesai membuat soal hitungan, aku mengajari Ngetepi belajar membaca. Meski dia yang paling besar di sini (sekitar 14 tahun), tapi dia belum menguasai baca-tulis. Keluarganya sering berpindah dan berjalan jauh, maka dia tidak sempat mampir ke ruma sokola sebelum ini. Tak berapa lama kemudian, muncul anak-anak lain: Beranya yang pintar berburu, si kecil Penangguk, Beening, Bekepak, dan Jujur. Selanjutnya aku tidak sempat lagi menyantap sarapan pilo ditonuk (ubi bakar) karena anak-anak bergantian minta soal. Kalau aku sedang menulis soal atau memeriksa hasil hitungan, anak pemilik soal kupasrahi untuk mengajar Ngetepi membaca. Lucu sekali, karena usia mereka jauh di bawah Ngetepi. Kegiatan belajar berlangsung sampai matahari di atas kepala, tengah hari gegat, saat kami berhenti lalu berbagi tugas memasak dan mencuci piring.
Ini hari kelima aku di sini. Butet keluar hutan sejak dua malam yang lalu, jadilah aku mengajar anak-anak ini sendirian. Anak-anak ini sangat istimewa, mereka bagian dari komunitas Orang Rimba yang tinggal dan bergantung hidup pada hutan. Itu sebabnya naluri mereka begitu cepat membaca tanda-tanda alam. Seperti siang kemarin, tiba-tiba kelas belajar bubar. Anak-anak menghambur keluar pondok lalu beraksi dengan ketepelnya. Rupanya ada tupoi di atas pohon, dan tupoi adalah lauk bagi mereka.
Ini rimba, bukan Jakarta. Di mana waktu bergerak tanpa angka satu sampai dua belas. Aku bahkan melupakan tanggal. Tidak seperti tinggal di Jakarta yang mudah untuk menebak kisah, kami bahkan tidak memiliki rutinitas di sini. Hari ini makan nasi, mungkin besok hanya ubi kalau persediaan beras sudah habis. Itupun kami harus berjalan ke ladang keluarga salah seorang murid dan minta ubi di sana, agak satu ambung. Kalau kail dan lulum berhasil menangkap ikan, artinya kami makan ikan. Kalau tidak, mungkin hanya cecepeng atau tengkuyung (kerang dan siput sungai). Tadi ada pacet menempel di kakiku saat hendak turun mandi ke sungai. Kemarin malah ada ular dan lipan. Tetapi bagaimanapun, anak-anak ini menjagaku dengan baik!
Sunday, May 29, 2005
"ini Jakarta!"
Baru setengah jam sebelumnya aku mengguman, “ini Jakarta!” sambil berusaha menikmati penantianku dalam hingar suara berbagai jenis musik dari pedagang VCD bajakan di kaki lima, dalam riuh kenek bis mencari penumpang, dalam kerumun orang-orang letih sepulang kerja, dalam kesibukan orang gila yang menari di depan kios VCD. Gerobak jagung, rujak, teh botol, bakpao, dan gorengan berjajar di mulut terminal Senen tempat aku menunggu bis menuju rumah. Menurutku, inilah Jakarta yang sebenar-benarnya, dan bukannya Starbucks, Mc. Donald, atau Hard Rock.
Ini Jakarta, di mana orang-orang berjuang mencari hidup.
Menjelang petang, aku melihat Patas AC nomer 44 bergerak menuju dan melewati pintu terminal tempat aku berdiri. Itu bis menuju rumah! Spontan aku bergerak mengikuti laju bis. Cepat... cepat... lalu...
Swing...
Aku merasakan badanku melayang sesaat, lalu terjatuh. Jedug!!!
“oops!”
Saat melayang, aku sempat menyesal karena tidak pernah mengingat trik-trik jatuh yang pernah aku denger dari Dodi. Maka dalam hitungan sepersekian detik, aku cuma ingat untuk melindungi kepala. Untuk itu tanganku bekerja dan siku kiri mendarat dengan manis di aspal depan terminal. Botol minuman yang aku pegang, terpental entah kemana. Aku tahu, siku dan telapak tangan yang menjadi penumpuku pasti akan perih sekali nantinya.
Aku sempat mendongak dan melihat seorang laki-laki gendut berkemeja merah tua berlari kencang sekali. Dia pasti si penabrak. Boro-boro nolongin, dia sama sekali tidak berhenti. Lebih gondok lagi ketika menyadari bahwa dia satu bis denganku. Alhasil sepanjang perjalanan aku cemberut dan menatap tajam ke arahnya.
Harusnya memang aku dekati dia dan langsung semprot. Sayangnya aku masih berpikir, “gimana nanti kalau dia cuek, gimana kalau dia nggak ngakuin? Pasti aku juga yang malu.” Ini Jakarta, dan kota ini punya banyak kemungkinan.
Lebih gondok lagi, HP di dalem tas ternyata terbentur cukup keras waktu aku jatuh. Layarnya sempet rusak. Aku jadi nyesel nggak marah ke orang itu. Apalagi mendengar komentar orang-orang rumah waktu aku menceritakan kejadian itu. “Ini Jakarta!” kata mereka sambil tertawa... J
Ini Jakarta, di mana orang-orang berjuang mencari hidup.
Menjelang petang, aku melihat Patas AC nomer 44 bergerak menuju dan melewati pintu terminal tempat aku berdiri. Itu bis menuju rumah! Spontan aku bergerak mengikuti laju bis. Cepat... cepat... lalu...
Swing...
Aku merasakan badanku melayang sesaat, lalu terjatuh. Jedug!!!
“oops!”
Saat melayang, aku sempat menyesal karena tidak pernah mengingat trik-trik jatuh yang pernah aku denger dari Dodi. Maka dalam hitungan sepersekian detik, aku cuma ingat untuk melindungi kepala. Untuk itu tanganku bekerja dan siku kiri mendarat dengan manis di aspal depan terminal. Botol minuman yang aku pegang, terpental entah kemana. Aku tahu, siku dan telapak tangan yang menjadi penumpuku pasti akan perih sekali nantinya.
Aku sempat mendongak dan melihat seorang laki-laki gendut berkemeja merah tua berlari kencang sekali. Dia pasti si penabrak. Boro-boro nolongin, dia sama sekali tidak berhenti. Lebih gondok lagi ketika menyadari bahwa dia satu bis denganku. Alhasil sepanjang perjalanan aku cemberut dan menatap tajam ke arahnya.
Harusnya memang aku dekati dia dan langsung semprot. Sayangnya aku masih berpikir, “gimana nanti kalau dia cuek, gimana kalau dia nggak ngakuin? Pasti aku juga yang malu.” Ini Jakarta, dan kota ini punya banyak kemungkinan.
Lebih gondok lagi, HP di dalem tas ternyata terbentur cukup keras waktu aku jatuh. Layarnya sempet rusak. Aku jadi nyesel nggak marah ke orang itu. Apalagi mendengar komentar orang-orang rumah waktu aku menceritakan kejadian itu. “Ini Jakarta!” kata mereka sambil tertawa... J
Saturday, May 28, 2005
dan waktu berhenti dalam secangkir kopi...
Sejujurnya aku merasa tidak rela mengeluarkan lebih dari 25 ribu rupiah untuk segelas kopi. Maka, kalaupun aku berada di Starbucks atau semacamnya, bisa dipastikan itu bukan inisiatifku. Paling sering karena ajakan dua adik sepupu perempuanku yang tinggal satu rumah. Aku tidak bisa menolak kebersamaan ini, tetapi benakku tetap saja berhitung setiap kali bertransaksi dengan si barista. Aku suka kopi, tapi tidak suka harganya. Betapapun lezatnya, aku tetap merasa ini tidak masuk akal. Di tempat lain yang tak kalah nyaman, dengan harga segitu aku bisa mendapatkan secangkir kopi plus kroisan daging asap yang enak.
Hal kedua, aku tidak suka cara mereka mengemas minumannya. Harga itu terlalu mahal untuk kemasan murahan mereka. Aku bilang murahan, karena kopi-kopi mereka dihidangkan dalam gelas plastik atau kertas. Sekali pakai, lalu dibuang. Sudah begitu, kita memesan sambil berdiri di depan kasir lalu membawa sendiri minuman-minumannya diiringi musik yang kadang berirama cepat. Menurutku, sama sekali nggak nyambung!
Iya nggak nyambung. Minum kopi kok kayak di restoran fast food. Jauh dari bayanganku tentang minum kopi di cafe: kopi hitam dalam cangkir beling yang menyimpan panasnya dengan baik, suasanya cozy dengan musik yang tenang, obrolan seru dengan teman-teman, membuatku betah berlama-lama bahkan jika aku datang sendirian saja.
Aku jadi inget Jazz Coffee-nya mbak Ani di Jogja dulu. Aku pernah dapet suasana itu di sana. Aku paling sering memesan kopi Toraja, menurutku rasanya agak-agak bau daun. Secangkir berharga lima ribu dan cukup enak untuk menemaniku berlama-lama di sana. Suasananya homy banget dengan mba’ Ani jadi ibu rumah. Pelanggannya saling kenal dan saling bercerita.
Atau warung kopi Jasa Ayah di Ule Kareng, Banda Aceh. Aku ke sana pasca gempa, dan warung itu jadi favorit para relawan. Kopi Aceh dibuat dengan cara yang unik, di saring-saring gitu deh... Trus disajikan dalam gelas-gelas kecil. Empat ribu satu gelas. Di warung lain, ada yang harganya lebih murah. Ruangan tempat minum kopi sih biasa aja. Meja-mejanya berukuran besar dan tertata seperti meja makan. Tapi toh kami selalu betah berlama-lama. Apalagi makanannya enak-enak. Dalam sekali kedatangan, aku bisa pesen telur setengah matang, martabak Aceh, mie Aceh, trus kue-kue basahnya yang enak... Dan, percaya nggak... pertama kali ke sana aku ketemu Fahmi, temen kuliahku di Jakarta yang asal Aceh. Ternyata, itu emang warung kopi yang sering dia ceritakan.
Aku juga inget warung kopi di Sabang. 750 segelas! Aku dan Dodi sampai terkaget-kaget waktu mau bayar. “Berapa?” Dodi mengulang pertanyaan, “Kopinya dua gelas, lho...” Tapi ibu pemilik warung tidak berubah pikiran, “Seribu lima ratus, dua kopi,” katanya.
Memang suasana Jazz Coffee-nya Mba Ani dan warung-warung kopi di Aceh nggak se’mahal’ cafe-cafe di Jakarta. Tapi mereka menawarkan ruang yang nyaman untuk aku kembali, kembali, dan kembali ke sana terus untuk menikmati secangkir kopi yang uapnya mengepul, menyeruputnya pelan-pelan, lalu mengobrol atau sekedar duduk berlama-lama. Dan waktu seperti berhenti di warung-warung kopi ini.
Hal kedua, aku tidak suka cara mereka mengemas minumannya. Harga itu terlalu mahal untuk kemasan murahan mereka. Aku bilang murahan, karena kopi-kopi mereka dihidangkan dalam gelas plastik atau kertas. Sekali pakai, lalu dibuang. Sudah begitu, kita memesan sambil berdiri di depan kasir lalu membawa sendiri minuman-minumannya diiringi musik yang kadang berirama cepat. Menurutku, sama sekali nggak nyambung!
Iya nggak nyambung. Minum kopi kok kayak di restoran fast food. Jauh dari bayanganku tentang minum kopi di cafe: kopi hitam dalam cangkir beling yang menyimpan panasnya dengan baik, suasanya cozy dengan musik yang tenang, obrolan seru dengan teman-teman, membuatku betah berlama-lama bahkan jika aku datang sendirian saja.
Aku jadi inget Jazz Coffee-nya mbak Ani di Jogja dulu. Aku pernah dapet suasana itu di sana. Aku paling sering memesan kopi Toraja, menurutku rasanya agak-agak bau daun. Secangkir berharga lima ribu dan cukup enak untuk menemaniku berlama-lama di sana. Suasananya homy banget dengan mba’ Ani jadi ibu rumah. Pelanggannya saling kenal dan saling bercerita.
Atau warung kopi Jasa Ayah di Ule Kareng, Banda Aceh. Aku ke sana pasca gempa, dan warung itu jadi favorit para relawan. Kopi Aceh dibuat dengan cara yang unik, di saring-saring gitu deh... Trus disajikan dalam gelas-gelas kecil. Empat ribu satu gelas. Di warung lain, ada yang harganya lebih murah. Ruangan tempat minum kopi sih biasa aja. Meja-mejanya berukuran besar dan tertata seperti meja makan. Tapi toh kami selalu betah berlama-lama. Apalagi makanannya enak-enak. Dalam sekali kedatangan, aku bisa pesen telur setengah matang, martabak Aceh, mie Aceh, trus kue-kue basahnya yang enak... Dan, percaya nggak... pertama kali ke sana aku ketemu Fahmi, temen kuliahku di Jakarta yang asal Aceh. Ternyata, itu emang warung kopi yang sering dia ceritakan.
Aku juga inget warung kopi di Sabang. 750 segelas! Aku dan Dodi sampai terkaget-kaget waktu mau bayar. “Berapa?” Dodi mengulang pertanyaan, “Kopinya dua gelas, lho...” Tapi ibu pemilik warung tidak berubah pikiran, “Seribu lima ratus, dua kopi,” katanya.
Memang suasana Jazz Coffee-nya Mba Ani dan warung-warung kopi di Aceh nggak se’mahal’ cafe-cafe di Jakarta. Tapi mereka menawarkan ruang yang nyaman untuk aku kembali, kembali, dan kembali ke sana terus untuk menikmati secangkir kopi yang uapnya mengepul, menyeruputnya pelan-pelan, lalu mengobrol atau sekedar duduk berlama-lama. Dan waktu seperti berhenti di warung-warung kopi ini.
amplop-amplop di bis kota
Temanku punya tas baru. Bahannya kulit, berwarna hitam, berbentuk persegi panjang tegak. Keren sih, tapi menurutku tas itu mirip tas yang dipakai anak-anak kecil ngamen ala karaoke di atas metromini di Jakarta. Tinggal diisi tape, lalu dilubagi pas bagian speaker. Aku ketawa, temanku manyun.
Tapi beneran, tas seperti itulah yang dipakai anak-anak untuk ngamen. Kebetulan aku pelanggan Metromini nomer 69. Sepanjang perjalanan dari terminal Blok M sampai Cipulir, paling tidak dua kali pengaman cilik naik ke atas bis dan beraksi dengan karaoke. Yang pertama naik tak jauh dari terminal Blok M. Sedangkan pengamen kedua, naik di pasar Mayestik. Kadang sendirian, kadang berdua.
Aku ingat betul pengamen perempuan yang naik di daerah Mayestik. Umurnya kira-kira tujuh tahun. Rambutnya merah dan penuh telur kutu. Seperti yang lain-lain, begitu masuk ia langsung membagikan amplop kecil lusuh kepada semua penumpang. Di salah satu sisi amplop ditempel fotokopi tulisan tanggan yang diawali dengan bacaan bismillah dengan huruf arab. Tulisan selanjutnya kurang lebih meminta bantuan untuk biaya sekolah.
Setelah membagikan amplop, ia kembali ke bagian depan Metromini lalu menyalakan tape yang dibawa dengan tas yang mirip punya temanku tadi. Setelah musik mengumandang, mulailah ia menyanyi. Biasanya lagu dangdut. Suaranya lantang agak serak, seserak iringan musik dari tape itu. Selesai menyanyi, ia mengumpulkan amplop-amplop dari tangan penumpang sambil berharap ada yang mengisikan sejumlah rupiah. Demikian, setiap kali, sepanjang perjalanan...
Pengamen kecil itu bukan yang pertama memakai amplop untuk meminta uang. Sebelum ini, cara ngamen dengan membagikan amplop sudah ada. Lagi-lagi di atas bis kota, dan lagi-lagi, saya mengalaminya di atas Mentromini saat melewati pasar Mayestik. Kali ini, amplop dibagikan oleh ibu-ibu dan tidak sedekil milik pengamen kecil. Tulisannya pun lebih rapi. Selain itu, kaset yang diputar bukan lagu dangdut tetapi suara orang berbicara yang diikuti irama kasidah. Intinya, ia meminta sedekah.
Ngomongin amplop, aku jadi teringat kecenderungan di pesta perkawinan sekarang. Tamu undangan kini tidak lagi membawa kado, tetapi cukup menyelipkan amplop dalam kotak yang telah disediakan. Nah, pengamen-pengamen di atas bis kota itu mungkin ikut-ikutan trend ini dan tidak lagi terang-terangan menadahkan tangan mohon bantuan. Juga tidak menadahkan topi atau kantong bekas permen.
Memang, uang yang ditempatkan dalam amplop biasanya bukan uang recehan. Misalnya saja amplop honor, amplop gaji, amplop sogokan untuk wartawan, atau amplop di pesta kawinan. So, mungkin dengan memakai amplop, pengamen-pengamen bis kota itu berharap mendapat rejeki yang lebih besar. Padahal aku sudah memeriksa dengan teliti, di amplop milik pengamen berkutu itu tidak ada tulisan: mohon sumbangan tidak berupa barang atau karangan bunga. Jadi sebetulnya, kita bisa menyumbang apa saja, kan?
Anyway, bis kota terus berjalan mengantarkan saya ke tempat tujuan. Semakin lama, semakin banyak orang yang naik dan turun termasuk berbagai rupa orang minta sumbangan. Ada yang seolah sungkan menyodorkan amplop, ada juga juga yang terang-terangan mengaku baru keluar dari penjara dan kehabisan uang. Ada pengamen dengan gitar, ada yang baca puisi dengan lantang. Ada preman, ibu-ibu, anak-anak, sampai laki-laki berpakaian perempuan. Mereka lebur jadi satu dengan peluh penumpang, teriakan pedagang asongan menawarkan tisu atau permen, gerak cepat copet, serta anak-anak sekolah yang mencoreti kursi bis dengan nama pacarnya. Sesekali terhirup karbon monoksida dari jalanan macet. Sesak. Dan sesak inilah yang dibawa berkeliling oleh bis-bis kota. Dari terminal ke terminal. Tak ada yang ditawarkan selain rutinitas.
Tapi beneran, tas seperti itulah yang dipakai anak-anak untuk ngamen. Kebetulan aku pelanggan Metromini nomer 69. Sepanjang perjalanan dari terminal Blok M sampai Cipulir, paling tidak dua kali pengaman cilik naik ke atas bis dan beraksi dengan karaoke. Yang pertama naik tak jauh dari terminal Blok M. Sedangkan pengamen kedua, naik di pasar Mayestik. Kadang sendirian, kadang berdua.
Aku ingat betul pengamen perempuan yang naik di daerah Mayestik. Umurnya kira-kira tujuh tahun. Rambutnya merah dan penuh telur kutu. Seperti yang lain-lain, begitu masuk ia langsung membagikan amplop kecil lusuh kepada semua penumpang. Di salah satu sisi amplop ditempel fotokopi tulisan tanggan yang diawali dengan bacaan bismillah dengan huruf arab. Tulisan selanjutnya kurang lebih meminta bantuan untuk biaya sekolah.
Setelah membagikan amplop, ia kembali ke bagian depan Metromini lalu menyalakan tape yang dibawa dengan tas yang mirip punya temanku tadi. Setelah musik mengumandang, mulailah ia menyanyi. Biasanya lagu dangdut. Suaranya lantang agak serak, seserak iringan musik dari tape itu. Selesai menyanyi, ia mengumpulkan amplop-amplop dari tangan penumpang sambil berharap ada yang mengisikan sejumlah rupiah. Demikian, setiap kali, sepanjang perjalanan...
Pengamen kecil itu bukan yang pertama memakai amplop untuk meminta uang. Sebelum ini, cara ngamen dengan membagikan amplop sudah ada. Lagi-lagi di atas bis kota, dan lagi-lagi, saya mengalaminya di atas Mentromini saat melewati pasar Mayestik. Kali ini, amplop dibagikan oleh ibu-ibu dan tidak sedekil milik pengamen kecil. Tulisannya pun lebih rapi. Selain itu, kaset yang diputar bukan lagu dangdut tetapi suara orang berbicara yang diikuti irama kasidah. Intinya, ia meminta sedekah.
Ngomongin amplop, aku jadi teringat kecenderungan di pesta perkawinan sekarang. Tamu undangan kini tidak lagi membawa kado, tetapi cukup menyelipkan amplop dalam kotak yang telah disediakan. Nah, pengamen-pengamen di atas bis kota itu mungkin ikut-ikutan trend ini dan tidak lagi terang-terangan menadahkan tangan mohon bantuan. Juga tidak menadahkan topi atau kantong bekas permen.
Memang, uang yang ditempatkan dalam amplop biasanya bukan uang recehan. Misalnya saja amplop honor, amplop gaji, amplop sogokan untuk wartawan, atau amplop di pesta kawinan. So, mungkin dengan memakai amplop, pengamen-pengamen bis kota itu berharap mendapat rejeki yang lebih besar. Padahal aku sudah memeriksa dengan teliti, di amplop milik pengamen berkutu itu tidak ada tulisan: mohon sumbangan tidak berupa barang atau karangan bunga. Jadi sebetulnya, kita bisa menyumbang apa saja, kan?
Anyway, bis kota terus berjalan mengantarkan saya ke tempat tujuan. Semakin lama, semakin banyak orang yang naik dan turun termasuk berbagai rupa orang minta sumbangan. Ada yang seolah sungkan menyodorkan amplop, ada juga juga yang terang-terangan mengaku baru keluar dari penjara dan kehabisan uang. Ada pengamen dengan gitar, ada yang baca puisi dengan lantang. Ada preman, ibu-ibu, anak-anak, sampai laki-laki berpakaian perempuan. Mereka lebur jadi satu dengan peluh penumpang, teriakan pedagang asongan menawarkan tisu atau permen, gerak cepat copet, serta anak-anak sekolah yang mencoreti kursi bis dengan nama pacarnya. Sesekali terhirup karbon monoksida dari jalanan macet. Sesak. Dan sesak inilah yang dibawa berkeliling oleh bis-bis kota. Dari terminal ke terminal. Tak ada yang ditawarkan selain rutinitas.
Labels:
jakarta,
kota,
pengamen,
transportasi publik
kembali menjadi pengumpul cerita
... perjalanan adalah ibu dari peristiwa. Maka mengumpulkan peristiwa yang ditebar di dalamnya tentulah sebuah kemungkinan menarik yang terbuka...
Demikian seorang teman menuliskan pesan, ketika untuk pertama kalinya aku meninggalkan Jogja setelah 25 tahun ternyamankan di sana. Dan aku terus mengumpulkan peristiwa sepanjang perpindahanku dari desa ke desa, dari hilir ke hulu, lalu saat bermain dengan anak-anak di belantara hutan bukit duabelas, Jambi. Begitu banyak peristiwa baru yang aku lihat, aku alami, dan aku rasakan.
Lalu tiba-tiba semuanya terasa biasa. Padahal perjalananku semakin jauh: perkampungan nelayan di pesisir Makassar, tebing-tebing magis Toraja, wajah-wajah muram anak-anak Aceh setelah bencana, kilometer nol di Sabang, dingin lekat udara Brastagi, dan seterusnya, dan seterusnya... Seharusnya ada banyak kisah yang terkumpul.
... begitu terbukanya sehingga seperti udara; suatu kali kau terbangun dan terbiasa...
Temanku benar. Aku menjadi terbiasa dengan perjalanan dan lupa untuk mencatat.
Sampai suatu ketika aku tiba di Jakarta dan mengalami rutinitasnya. Sesungguhnya berawal dari beberapa kesialan, yang disambut dengan kata-kata spontan, “Ini Jakarta!” dari mereka yang mendengar kisahku. “Ini Jakarta!” yang membuat aku menyadari bahwa memang di sini terjadi pengalaman-pengalaman yang tidak terjadi di kota lain. Maka di sini aku sengaja lebih banyak bercerita tentang kisahku di Jakarta.
... Maka satu hal yang dengan sengaja kuingatkan pada mu, teman kecilku yang manis, adalah untuk tidak melupakan mengingat dan mencatat. Agar udara dan peristiwa yang terbiasa itu nanti, bisa jadi luar biasa.
(Aku sangat menyukai sebutan teman kecilku yang manis, entah kenapa)
Demikian seorang teman menuliskan pesan, ketika untuk pertama kalinya aku meninggalkan Jogja setelah 25 tahun ternyamankan di sana. Dan aku terus mengumpulkan peristiwa sepanjang perpindahanku dari desa ke desa, dari hilir ke hulu, lalu saat bermain dengan anak-anak di belantara hutan bukit duabelas, Jambi. Begitu banyak peristiwa baru yang aku lihat, aku alami, dan aku rasakan.
Lalu tiba-tiba semuanya terasa biasa. Padahal perjalananku semakin jauh: perkampungan nelayan di pesisir Makassar, tebing-tebing magis Toraja, wajah-wajah muram anak-anak Aceh setelah bencana, kilometer nol di Sabang, dingin lekat udara Brastagi, dan seterusnya, dan seterusnya... Seharusnya ada banyak kisah yang terkumpul.
... begitu terbukanya sehingga seperti udara; suatu kali kau terbangun dan terbiasa...
Temanku benar. Aku menjadi terbiasa dengan perjalanan dan lupa untuk mencatat.
Sampai suatu ketika aku tiba di Jakarta dan mengalami rutinitasnya. Sesungguhnya berawal dari beberapa kesialan, yang disambut dengan kata-kata spontan, “Ini Jakarta!” dari mereka yang mendengar kisahku. “Ini Jakarta!” yang membuat aku menyadari bahwa memang di sini terjadi pengalaman-pengalaman yang tidak terjadi di kota lain. Maka di sini aku sengaja lebih banyak bercerita tentang kisahku di Jakarta.
... Maka satu hal yang dengan sengaja kuingatkan pada mu, teman kecilku yang manis, adalah untuk tidak melupakan mengingat dan mencatat. Agar udara dan peristiwa yang terbiasa itu nanti, bisa jadi luar biasa.
(Aku sangat menyukai sebutan teman kecilku yang manis, entah kenapa)
Subscribe to:
Posts (Atom)