Temanku bercerita, keponakannya yang datang dari Jogja terpesona melihat Jakarta yang apa-apa ada. Salah satunya adalah sungai ungu yang diseberanginya di depan Mal Ambasador.
Dia benar juga, air yang mengalir di saluran kota itu berwarna keunguan. Tetapi aktivis lingkungan pasti sama sekali tidak menganggapnya ajaib seperti ponakan temanku yang memang suka warna ungu.
Inilah Jakarta yang sungainya berwarna-warni.
Di dekat rumahku juga ada got yang airnya ungu di suatu titik. Lalu biru. Lalu hijau. Aku melewatinya tiap pergi dan pulang ke rumah. Sampai di ujung jalan, tempat aku biasa nunggu bis, kondisi saluran amat sangat menyebalkan. Sampah-sampah terlihat menumpuk di saluran itu. Sedikit-sedikit air mengalir, warnanya kehitaman. Seperti ada lender atau lumut kehijauan.
Aku pernah mengalami mandi di Batang Hari atau Tembesi di Jambi yang airnya coklat. Meski nggak dijamin sungai itu bersih, tapi aku yakin yang di buang ke sana adalah benda-benda organik. Tetapi kalau sudah berwarna ungu atau biru pasti ada 'sesuatu'...
Kalau hari hujan, saluran di ujung jalan rumahku justru meluap dan berkuranglah muatan sampahnya. Jalan-jalan memang jadi kotor karena sampah yang tadinya di dalam got meluap ke jalan. Tapi setelah hujan, justru got agak sedikit bersih.
Ini Jakarta: ketika aku harus pikir-pikir pakai sandal trepes yang terbuka, atau celana yang kepanjangan sampai ke telapak sepatu. Membayangkan apa yang akan aku injak, aku merasa sayang pada kaki dan celana jeansku. Kalau hujan, aku memilih melipir dari seberangnya karena aku sudah tahu apa saja yang meluap dari saluran itu.
Aku nggak tau salah siapa. Orang memang belum semuanya sadar untuk mengelola sampahnya dengan benar. Juga, pelayanan collecting sampah belum sepenuhnya baik. Please, deh!
* seminggu setelah aku menulis ini, got di perempatan jalan dibersihkan. Memang sudah seharusnya karena saat itu, air terus meluap meskipun tidak hujan. Hasil pembersihan adalah 20-an karung kotoran.
No comments:
Post a Comment