... perjalanan adalah ibu dari peristiwa. Maka mengumpulkan peristiwa yang ditebar di dalamnya tentulah sebuah kemungkinan menarik yang terbuka...
Demikian seorang teman menuliskan pesan, ketika untuk pertama kalinya aku meninggalkan Jogja setelah 25 tahun ternyamankan di sana. Dan aku terus mengumpulkan peristiwa sepanjang perpindahanku dari desa ke desa, dari hilir ke hulu, lalu saat bermain dengan anak-anak di belantara hutan bukit duabelas, Jambi. Begitu banyak peristiwa baru yang aku lihat, aku alami, dan aku rasakan.
Lalu tiba-tiba semuanya terasa biasa. Padahal perjalananku semakin jauh: perkampungan nelayan di pesisir Makassar, tebing-tebing magis Toraja, wajah-wajah muram anak-anak Aceh setelah bencana, kilometer nol di Sabang, dingin lekat udara Brastagi, dan seterusnya, dan seterusnya... Seharusnya ada banyak kisah yang terkumpul.
... begitu terbukanya sehingga seperti udara; suatu kali kau terbangun dan terbiasa...
Temanku benar. Aku menjadi terbiasa dengan perjalanan dan lupa untuk mencatat.
Sampai suatu ketika aku tiba di Jakarta dan mengalami rutinitasnya. Sesungguhnya berawal dari beberapa kesialan, yang disambut dengan kata-kata spontan, “Ini Jakarta!” dari mereka yang mendengar kisahku. “Ini Jakarta!” yang membuat aku menyadari bahwa memang di sini terjadi pengalaman-pengalaman yang tidak terjadi di kota lain. Maka di sini aku sengaja lebih banyak bercerita tentang kisahku di Jakarta.
... Maka satu hal yang dengan sengaja kuingatkan pada mu, teman kecilku yang manis, adalah untuk tidak melupakan mengingat dan mencatat. Agar udara dan peristiwa yang terbiasa itu nanti, bisa jadi luar biasa.
(Aku sangat menyukai sebutan teman kecilku yang manis, entah kenapa)
No comments:
Post a Comment