Thursday, May 29, 2008

Jakarta Kelabu

Sudirman 17:54. Empat perempuan duduk di halte dengan aksi yang sama: menutup hidung dengan tisu atau sapu tangan. Udara abu-abu memang tak nyaman untuk bernafas. Apalagi dengan jarak kendaraan yang rapat dan tak kunjung berlalu. Sore ini kelabu.

Sama kelabu dengan wajah-wajah letih sepulang kerja. Sama kelabu ketika menyadari kenyataan bahwa ongkos bis kota naik, dan ada di antaranya naik dengan semena-mena. Aku masih maklum kalau ongkos Kopaja dan Metromini naik dari Rp 2.000 jadi Rp 2.500. Baiklah. Bukan aku mendukung kenaikan harga BBM, tapi menyadari konsekuensi bahwa kehidupan keluarga kernet bis makin sulit setelah naiknya BBM membuatku rela saja membayar kenaikan ongkos bis.

Tapi ada yang menurutku semena-mena: Bis Bianglala 44 Cileduk-Senen. Ini ruteku pada suatu pagi. Dan aku harus cemberut ketika membaca pengumuman tarif baru yang ditempel di dalam bis. Ongkos yang semula Rp 5.000 kini naik jadi Rp 7.000. Artinya kenaikannya Rp 2.000. Artinya mereka menaikkan ongkos 40%. Serombongan ibu yang berdiri di belakangku terdengar mengomel. Katanya, BBM saja naik tidak sampai 15%, kenapa ongkos bis naik semahal itu. Tapi kernet tidak peduli sama sekali.

Aku turun di Ratu Plasa, melanjutkan perjalanan dengan Patas AC Mayasari 05 Blok M – Bekasi. Yang ini naiknya masih wajar, dari Rp 5.500 jadi Rp 6.500. Padahal bis ini lewat tol. Jadi emang keterlaluan Patas AC 44 itu! Aku lebih terkejut lagi sewaktu perjalanan pulang dengan Patas AC Mayasari 35 Senen-Cileduk, aku membayar Rp 1.000 lebih murah dari pada Bianglala 44 padahal rutenya hampir sama.

Jakarta makin kelabu dengan tampang-tampang cemberut di bis kota karena kenaikan ongkos. Mau tidak mau harus berpikir ekonomis. Turun di pintu tol Jati Bening, aku disambut teriakan para tukang ojek yang rupanya sudah mengenaliku, “Kranji, Kraji!” Kujawab saja, “Enggak, Bang, Kali Malang situ!” Tukang ojek ganti yang kelabu... “Habis gimana lagi, BBM naik, ojek pasti naik. Rute rumah-kantor bisa-bisa sampe Rp 40.000 kalau aku sambung pake ojek sampe kantor. Ya sudah, Kali Malang saja lalu sambung pakai Mikrolet yang juga naik ongkosnya... Hiks...

Tuesday, May 20, 2008

work hard play hard

Sabtu sore di foodcourt pasar festival:
“Mbak, suka clubbing nggak?” “Emang kenapa?”
“Mbak bisa jadi member, nanti clubbingnya gratis seumur hidup. Cuma bayar seratus ribu.”
“Oh, saya udah punya member kok...”

Maksudku tentu saja SOKOLA – Alternative Education Club, lembaga tempatku bekerja. Tapi tentu saja tidak kusebut pada si mbak yang menawarkan clubbing, takut dia minder. Hehehe...



Kalau memang asalnya dari kata club, maka demikianlah aku ingin menyebut pekerjaanku. Clubbing. Karena kami memang menyebut diri klub, kumpulan orang sehobi dan sekesenangan. Dan berlangsunglah istilah ‘work hard play hard’ di kami tanpa harus memisahkan waktu kerja dengan waktu bersenang-senang. Di sini, keduanya bisa dilakukan bersama karena kami senang melakukan kerja ini dan kami bekerja karena memang ini cara bersenang-senang.

Bagaimana tidak bersenang-senang, di saat sebagian orang Jakarta bangun dini hari supaya bisa mengejar jam kantornya, kami bisa bangun saat merasa tidurnya sudah cukup bahkan kadang tidak perlu mandi dan berdandan untuk mulai memberi pelajaran pada murid-murid. Pun saat di Jakarta, aku punya kuasa untuk mengatur waktu tidurku, waktu bekerjaku, dan waktu ngantorku yang seminggu sekali. Tidak harus menunggu weekend untuk bisa berenang atau nonton bareng. Namanya juga alternatif, namanya juga clubbing... Jadi nggak perlu lagi clubbing di tempat lain.

Begitulah, pekerjaan ini sudah seharusnya disyukuri. Aku memikirkan ini saat melihat sepasang (sepertinya) suami istri berboncengan motor melewati Kali Malang, Bekasi, dengan tas kerja masing-masing dan raut wajah lelah. Waktu sudah mendekati pukul 18.00, jalan macet dan penuh asap kendaraan bermotor membuatku tergelitik untuk bertanya: “Jam berapa mereka harus bangun tiap pagi supaya tidak terlambat datang ke kantornya di Jakarta? Jam berapa mereka sampai rumah lagi, dan seberapa banyak sisa tenaga mereka untuk mengerjakan hal lain? Apakah mereka punya cukup waktu beristirahat tiap hari? Apakah mereka menikmati pekerjaannya?Apakah mereka bisa menikmati waktu luangnya?

Pertanyaan itu juga menggelitik ketika aku melihat setengah penumpang bis patas AC dari Ciledug tampak tertidur pada sebuah pukul tujuh pagi. Butuh setidaknya satu setengah jam dari terminal Ciledug untuk mencapai jalan utama Sudirman-Thamrin dalam pagi yang macet seperti itu. Bangun kepagian untuk mengejar jam kantor, lalu dibayar dengan tidur sepanjang perjalanan.

Ini Jakarta, di mana setiap orang bekerja keras. Ada yang bekerja untuk bertahan hidup, dan sebagian lainnya bekerja untuk bertahan gaya hidup, termasuk clubbing itu tadi...