Wednesday, April 09, 2008

Hari Hujan di Makekal


Hari hujan,
nggak ada ojek,
jalan becek,
muka lecek…

Sungguh-sungguh terjadi padaku siang itu, dalam perjalanan menuju lokasi Sokola Rimba di tepi Sako Napu, Hutan Makekal, Jambi. Nasib tidak mengijinkan kami menempuh jalan merah berlumpur saat hujan turun karena saat itulah orang kaya si pemilik jalan menutup gerbang di ujung satu-satunya jalan yang menghubungkan desa SPG, Bungo Tanjung ke hutan Makekal.

Sebenarnya bukan satu-satunya. Ada jalan lama, orang kaya itu pula yang punya. Setelah dia membuat jalan baru dengan dua buldosernya menebas rimbunan hutan, jalan lama memang tak lagi ia gerbangi, tapi semua titian kayu yang melintasi sungai-sungai kecil di sepanjang jalan telah diputusnya. Tak ada lagi yang bisa melintas. Mau tak mau harus lewat jalan baru, itupun selalu ditutup saat dan setelah hujan dengan alasan tanah merah yang liat karena hujan akan cepat rusak kalau dilewati kendaraan bermotor. Yang tetap melintas, demikian tertulis di papan dekat gerbannya, akan didenda. Seratus ribu untuk motor.

Ya sudah, berjalan kakilah kami siang itu di bawah titikan hujan. Dalam basah aku mengumpat, “Sialan, jalan tol di Jakarta aja lebih murah!” Tapi percayalah, ini tidak mengurangi kenikmatan berjalan kaki sepanjang 17 kilometer yang tak mungkin aku lakukan di Jakarta. Hujan justru mendinginkan tanah, menyejukkan udara dan mengurangi peluhku.

Sambil berjalan dan sekali-sekali terperosok lumpur tanah merah, aku membayangkan perjalanan Orang Rimba keluar atau masuk hutan. Dulu, sebelum jalan ini dibuat, perjalanan tak semudah ini karena harus menerobos rimbunan hutan hujan: semak, duri, pacet, dan pasti lebih dari yang bisa kubayangkan. Lalu ketika kelebatan hutan berubah jadi kebun-kebun karet, si orang kaya membuat jalan demi memudahkan angkutan penjualan karetnya dan wilayah hidup Orang Rimba semakin mudah diakses.

Jalan menghubungkan Orang Rimba pada dunia terang, dunia yang mendapat lebih banyak asupan sinar matahari karena ketiadaan pepohonan seperti di rimba. Pantesan Jakarta panas minta ampun karena sedikit sekali pepohonan hijau. Di jalan merah yang membelah rimbunan hutan karet ini saja, panas minta ampun rasanya saat berjalan kaki di tengah hari yang terik.

Aku membayangkan Jakarta, yang panas, terik, macet dan berasap yang terus membuatku mual dan terbatuk-batuk. Bagaimanapun, hujan ini, sekalipun becek dan nggak ada ojek, harus disyukuri. Ini saatnya merehabilitasi paru-paru yang terkontaminasi polusi Jakarta. Maka aku tidak berharap ojek di sini, apalagi metromini atau busway!