Kemarin agak kaget ketika kenek bis patas Mayasari minta ongkos enam ribu satu orang. Katanya, emang gitu kalau rute Blok M – Cikarang. Tapi aku kan turun di Jatibening? Sama aja, katanya. Kecuali kalau naik dari Jatibening ke Blok M.
Sebenernya berapa sih ongkos resmi bis kota?
Kalau naik patas AC Cileduk-Senen, aku biasa bayar Rp. 3.500,00. Ini udah naik. Dulu sebelum BBM naik, ongkosnya Rp. 3.300,00. Kalau naik yang jurusan Pulau Gadung, kernetnya suka minta Rp. 4.000,00, tapi kalau aku bilang bahwa aku turun di Sudirman, tarifnya jadi tiga setengah lagi. Sekali waktu aku naik bis AC Blok M – Rawamangun. Kernetnya aku kasih duit lima ribuan. Eh, kembaliannya Rp. 1.700,00.
Terus terang aku agak bingung, apakah tarif bis Patas AC memang berlainan?
Lain lagi kalau naik Metromini 69 yang harusnya bayar Rp. 1.400,00. Setiap kali kasih 1.500,00 nyaris nggak pernah dapet kembalian. Emang sih, uang 100 buat satu orang mungkin kecil sekali artinya. Buatku, itu jatah untuk pengamen di bis. Tapi coba dihitung, kalau setiap penumpang satu bis, dalam sehari, menyumbang 100 rupiah! Pasti nominalnya gede juga.
Cuma, aku selalu inget mama pernah pesen. Kasusnya di Jogja sih, yang keneknya selalu ribut minta ongkos umum ke mahasiswa atau pelajar yang nggak pake seragam. Kata mama, mahasiswa memang miskin, tapi kok yang disuruh mensubsidi kernet bis. Artinya, orang miskin membantu orang miskin. Intinya jangan pelit ama kernet bis.
Makanya, aku kadang feel guilty juga kalau naik PPD 67 Senen – Blok M yang lewat Salemba. Soalnya, meskipun kasih duit dua ribu, pasti kembaliannya lima ratus. Padahal ongkos resminya Rp. 1.600,00. Viva 67, deh!
No comments:
Post a Comment