Wednesday, July 13, 2005

dunia lain jakarta



Pagi ini terbangun dalam sleeping bag. Mungkin waktu butebut buit, yaitu ketika burung-burung mulai berbunyi. Dingin masih meresap pada lantai bambu ruma sokola yang tak berdinding. Berapit datang membawa air teh dalam gelas plastik. Ia melengkapi pagi indahku di tengah hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi.

Sebelum aku keluar dari sleeping bag, beberapa anak yang semalam menemaniku tidur di ruma sokola sudah berkumpul. Selain Berapit, ada Penguwar, Beconteng, Sertu, Merensan dan Ngetepi. Mereka membuka-buka ensiklopedi anak-anak, yang lain mengambil kertas dan tulis: mereka sudah siap belajar!

“Sertu, berapo delapan dikalikan enom?” sambil masih tiduran, aku melontarkan pertanyaan. Si hitam Sertu lalu berhenti menggambar. Ia membentangkan kelima jarinya lalu menghitung. “Empat puluh?” dia menjawab tidak yakin. “Lagi mansih saloh. Ake bori mikae soal perkalian ma’e mikae cepat menghitung, ibo? Nang lain juga ake bori soal, ibo?” Jawabannya singkat nyaris bersamaan, “Ao…”

Menit selanjutnya aku sibuk menuliskan soal. Setiap anak kubuatkan sekitar dua puluh soal hitungan. Tidak ada yang sama, karena masing-masing memiliki kemampuan dan perkembangan yang berbeda-beda. Penguwar sudah mulai perkalian besesimpan (susun ke bawah) dengan angka besar dan soal cerita. Beconteng, Berapit dan Sertu, sekalipun bersamaan mulai belajar perkalian, aku tetap memberikan soal yang berbeda karena tingkat pemahaman mereka berbeda. Sementara Merensan baru mulai belajar angka belasan dan puluhan.

Selesai membuat soal hitungan, aku mengajari Ngetepi belajar membaca. Meski dia yang paling besar di sini (sekitar 14 tahun), tapi dia belum menguasai baca-tulis. Keluarganya sering berpindah dan berjalan jauh, maka dia tidak sempat mampir ke ruma sokola sebelum ini. Tak berapa lama kemudian, muncul anak-anak lain: Beranya yang pintar berburu, si kecil Penangguk, Beening, Bekepak, dan Jujur. Selanjutnya aku tidak sempat lagi menyantap sarapan pilo ditonuk (ubi bakar) karena anak-anak bergantian minta soal. Kalau aku sedang menulis soal atau memeriksa hasil hitungan, anak pemilik soal kupasrahi untuk mengajar Ngetepi membaca. Lucu sekali, karena usia mereka jauh di bawah Ngetepi. Kegiatan belajar berlangsung sampai matahari di atas kepala, tengah hari gegat, saat kami berhenti lalu berbagi tugas memasak dan mencuci piring.
Ini hari kelima aku di sini. Butet keluar hutan sejak dua malam yang lalu, jadilah aku mengajar anak-anak ini sendirian. Anak-anak ini sangat istimewa, mereka bagian dari komunitas Orang Rimba yang tinggal dan bergantung hidup pada hutan. Itu sebabnya naluri mereka begitu cepat membaca tanda-tanda alam. Seperti siang kemarin, tiba-tiba kelas belajar bubar. Anak-anak menghambur keluar pondok lalu beraksi dengan ketepelnya. Rupanya ada tupoi di atas pohon, dan tupoi adalah lauk bagi mereka.

Ini rimba, bukan Jakarta. Di mana waktu bergerak tanpa angka satu sampai dua belas. Aku bahkan melupakan tanggal. Tidak seperti tinggal di Jakarta yang mudah untuk menebak kisah, kami bahkan tidak memiliki rutinitas di sini. Hari ini makan nasi, mungkin besok hanya ubi kalau persediaan beras sudah habis. Itupun kami harus berjalan ke ladang keluarga salah seorang murid dan minta ubi di sana, agak satu ambung. Kalau kail dan lulum berhasil menangkap ikan, artinya kami makan ikan. Kalau tidak, mungkin hanya cecepeng atau tengkuyung (kerang dan siput sungai). Tadi ada pacet menempel di kakiku saat hendak turun mandi ke sungai. Kemarin malah ada ular dan lipan. Tetapi bagaimanapun, anak-anak ini menjagaku dengan baik!