Sunday, February 23, 2014

when the city shutdown

Kembali ke Bangkok, nyaris tepat enam tahun setelah perjalanan pertamaku ke sana tahun 2008. Saat itu aku merayakan ulang tahun ke 30 di atas pesawat. Kali ini – dengan Dodi, perjalanan ke Bangkok yang hanya beberapa hari sebelum ulang tahunku disambut oleh demonstrasi besar-besaran. Isunya cukup sensitif: menuntut reformasi (menurunkan PM) dan dan menolak pemilu yang akan segera diselenggarakan.


Aku sendiri pernah mengalami demonstrasi menolak pemilu tahun 1997 – yang kemudian kembali memenangkan Soeharto - di kampus. Demonstrasi hari pertama disertai penangkapan beberapa mahasiswa. Demonstrasi hari kedua, aku yang ditangkap! Hahaha… Tidak kujelaskan detailnya, tetapi aku cukup dekat dengan pengalaman demonstrasi termasuk mengalami serangkaian demo menjelang reformasi, dan tahun 2000 lebih banyak meliput demo sebagai wartawan saat itu.

Demonstrasi di Bangkok dimulai tiga hari sebelum kami berangkat, dan entah sampai kapan. Sejak beberapa hari sebelum keberangkatan, kami memantau perkembangan situasi di sana melalui internet - selain tentunya  mencari tahu tentang akomodasi dan tujuan-tujuan wisata di sana. Entah kenapa, surat kabar maupun media online Indonesia tidak banyak memberitakannya. Selain itu, aku juga bertanya ke beberapa teman, serta mencermati titik-titik demonstrasi. Pada akhirnya, kami memutuskan untuk tetap berangkat. Kayak yang ngga pernah ngalamin demo aja… Hahaha…

Tentu kami siap untuk ketidakpastian, termasuk membatalkan kamar hotel yang kami booking via internet karena takut kalau ternyata susah mencapai daerah itu. Namun setiba di sana, demonstrasi justru yang menyita perhatian kami selama dua hari pertama di Bangkok.

Persinggungan kami dengan titik demonstrasi sungguh tidak disengaja. Tadinya  kami turun dari MRT di Si Lom untuk berganti ke jalur skytrain menuju Siam Central. Dari atas stasiun skytrain, terlihat ramai kerumunan. Demonstrasi itu. Dari yang cuma motret dari atas terminal skytrain, hingga akhirnya memberanikan diri untuk turun ke bawah, ke kerumunan demonstrasi.



“Ini demonstrasi atau pasar malem?” pikirku saat tiba di kerumunan. Sungguh di luar pengalaman dan pengetahuanku mengenai demonstrasi. Kerumunan saat itu ratusan orang, atau ribuan, entahlah aku tidak bisa menaksir jumlahnya. Yang jelas ramai sekali. Dari yang tua, muda, sampai anak-anak; lelaki dan perempuan, mbak-mbak yang berkostum pulang kantor, pengguna kursi roda, dan masih banyak lagi jenis manusia berbaur di sana. Semuanya menggunakan atribut bendera Thailand hingga mirip supporter bola. Tapi tidak, ini lebih dari atribut nonton bola karena selain kaos, topi, atau syal, atribut lain yang digunakan bisa berupa pita rambut, kecrekan tangan, anting, cincin, gelang, bando dan masih banyak lagi. Semuanya bertema bendera Thailand: garis-garis merah-putih-biru.putih-merah. Atribut wajib adalah peluit. Pada saat-saat tertentu menurut aba-aba orator, peserta demo bersamaan meniup peluit…

Orator berbicara dari panggung besar yang menjadi pusat demonstrasi. Di belakangnya ada layar raksasa yang menayangkan langsung berita mengenai demonstrasi di beberapa titik. Tidak hanya orasi, tetapi panggung juga diisi dengan suguhan tari-tarian, band, sampai barongsay. Sungguh sebuah hiburan bagi para pendemo yang sebagian datang dari tempat-tempat yang jauh, tinggal di tenda atau emper-emper toko, dan tidak tahu kapan akan berakhir.

Sementara itu, di lingkar terluar, berderet pedagang-pedagang kaki lima yang menjual atribut demo seperti yang kusebut di atas, juga pedagang-pedagang makanan. Bagaimana tidak mirip psar malam?



Esoknya – entah bisa disebut sengaja atau tidak – kami mendatangi titik demonstrasi di National Stadium yang bersebelahan dengan pusat belanja MBK, semacam Mangga Dua di Bangkok. Masih pagi saat itu, beberapa dari mereka masih meringkuk di teras-teras MBK, atau dalam tenda yang berjajar di trotoar, kawasan stasiun, serta halaman National Stadium. Bangkok sedang dingin saat itu, tentunya amat tidak nyaman tidur di luar ruangan.



Semakin siang, kawasan itu semakin ramai. Seperti di Si Lom, di sana juga ada panggung besar dan layar raksasa. Demonstrasi di sini mungkin lebih ramai karena dekat dengan kawasan niaga dan wisata. Beberapa turis tampak memotret dan bahkan berbaur, termasuk kami. Beberapa demonstran bahkan meminjamkan poster demo untuk turis yang ingin berfoto. Ah, pintar sekali mereka. Turis-turis itu pastilah akan dengan bangga meng-uploadnya ke twitter atau facebook mereka dan dengan cepat akan tersebar dalam media sosial.




Kami juga mampir ke lokasi demo di dekat patung King Rama VI yang menjadi satu dengan Lumpini Park. Di kawasan taman kota itu, terlihat keseharian para demonstran. Tenda-tenda berjajar mengelilingi danau dan pada hamparan rumput di sana. Beberapa demonstran tampak beristirahat di dalamnya.  Pakaian-pakaian dijemur di dekat tenda. Di bagian lain tampak tenda logistik yang selalu sibuk: menurunkan muatan seperti selimut, air mineral, tenda, dan sebagainya; juga beberapa demonstran yang datang untuk meminta barang-barang tersebut. Menjelang makan, posko makanan dipenuhi orang-orang. Situasinya mengingatkanku pada camp bencana dalam level yang lebih tenang.



Beberapa petugas posko sempat menawari kami makan dan minum, mungkin karena wajah Asia kami tidak terlalu berbeda dengan orang sana terutama orang-orang dari selatan Thailand yang masih masuk rumpun Melayu. Pada saat itulah kami agak menyesal kenapa ngga bawa tenda. Wacana membawa tenda dan bermalam di taman sempat menjadi becandaan sebelum kami berangkat. Kalau tahu akan ada banyak temennya begini, mungkin kami betul-betul tidur di tenda, mandi di WC mobile dan mengantre makan di posko. Pasti akan banyak mengirit biaya jalan-jalan kami. Hahaha…



Setelah dua hari berada di sekitar lokasi demo, akhirnya kami memutuskan untuk benar-benar menjadi turis dengan mengunjungi tempat-tempat tujuan wisata di sana. Untunglah, karena pada sore hari di Khaosan Road, kami sempat melihat berita televisi di sebuah kios yang mengabarkan adanya pelemparan granat di lokasi demo. Tapi sungguh, demonstrasi dan granat itu terasa seperti di tempat yang jauh dari Khaosan Road yang menjadi pusat backpacker. Turis-turis berfoto, berbelanja dan nongkrong di kafe seperti tak terpengaruh. Benarkah tak terpengaruh?


“They are fool!” begitu kata pemilik hotel tempat kami menginap di kawasan Sutthisan. Sempat kubaca beberapa komentar orang Bangkok menganggapi berita tentang demo bahwa Bangkok akan tetap aman bagi wisatawan meskipun sedang berlangsung demonstrasi. Tetapi toh, tetap saja –menurut pemilik hotel itu – tingkat hunian menurun dan banyak tamu yang membatalkan kamarnya.

Foto oleh Dodi Rokhdian