Temanku punya tas baru. Bahannya kulit, berwarna hitam, berbentuk persegi panjang tegak. Keren sih, tapi menurutku tas itu mirip tas yang dipakai anak-anak kecil ngamen ala karaoke di atas metromini di Jakarta. Tinggal diisi tape, lalu dilubagi pas bagian speaker. Aku ketawa, temanku manyun.
Tapi beneran, tas seperti itulah yang dipakai anak-anak untuk ngamen. Kebetulan aku pelanggan Metromini nomer 69. Sepanjang perjalanan dari terminal Blok M sampai Cipulir, paling tidak dua kali pengaman cilik naik ke atas bis dan beraksi dengan karaoke. Yang pertama naik tak jauh dari terminal Blok M. Sedangkan pengamen kedua, naik di pasar Mayestik. Kadang sendirian, kadang berdua.
Aku ingat betul pengamen perempuan yang naik di daerah Mayestik. Umurnya kira-kira tujuh tahun. Rambutnya merah dan penuh telur kutu. Seperti yang lain-lain, begitu masuk ia langsung membagikan amplop kecil lusuh kepada semua penumpang. Di salah satu sisi amplop ditempel fotokopi tulisan tanggan yang diawali dengan bacaan bismillah dengan huruf arab. Tulisan selanjutnya kurang lebih meminta bantuan untuk biaya sekolah.
Setelah membagikan amplop, ia kembali ke bagian depan Metromini lalu menyalakan tape yang dibawa dengan tas yang mirip punya temanku tadi. Setelah musik mengumandang, mulailah ia menyanyi. Biasanya lagu dangdut. Suaranya lantang agak serak, seserak iringan musik dari tape itu. Selesai menyanyi, ia mengumpulkan amplop-amplop dari tangan penumpang sambil berharap ada yang mengisikan sejumlah rupiah. Demikian, setiap kali, sepanjang perjalanan...
Pengamen kecil itu bukan yang pertama memakai amplop untuk meminta uang. Sebelum ini, cara ngamen dengan membagikan amplop sudah ada. Lagi-lagi di atas bis kota, dan lagi-lagi, saya mengalaminya di atas Mentromini saat melewati pasar Mayestik. Kali ini, amplop dibagikan oleh ibu-ibu dan tidak sedekil milik pengamen kecil. Tulisannya pun lebih rapi. Selain itu, kaset yang diputar bukan lagu dangdut tetapi suara orang berbicara yang diikuti irama kasidah. Intinya, ia meminta sedekah.
Ngomongin amplop, aku jadi teringat kecenderungan di pesta perkawinan sekarang. Tamu undangan kini tidak lagi membawa kado, tetapi cukup menyelipkan amplop dalam kotak yang telah disediakan. Nah, pengamen-pengamen di atas bis kota itu mungkin ikut-ikutan trend ini dan tidak lagi terang-terangan menadahkan tangan mohon bantuan. Juga tidak menadahkan topi atau kantong bekas permen.
Memang, uang yang ditempatkan dalam amplop biasanya bukan uang recehan. Misalnya saja amplop honor, amplop gaji, amplop sogokan untuk wartawan, atau amplop di pesta kawinan. So, mungkin dengan memakai amplop, pengamen-pengamen bis kota itu berharap mendapat rejeki yang lebih besar. Padahal aku sudah memeriksa dengan teliti, di amplop milik pengamen berkutu itu tidak ada tulisan: mohon sumbangan tidak berupa barang atau karangan bunga. Jadi sebetulnya, kita bisa menyumbang apa saja, kan?
Anyway, bis kota terus berjalan mengantarkan saya ke tempat tujuan. Semakin lama, semakin banyak orang yang naik dan turun termasuk berbagai rupa orang minta sumbangan. Ada yang seolah sungkan menyodorkan amplop, ada juga juga yang terang-terangan mengaku baru keluar dari penjara dan kehabisan uang. Ada pengamen dengan gitar, ada yang baca puisi dengan lantang. Ada preman, ibu-ibu, anak-anak, sampai laki-laki berpakaian perempuan. Mereka lebur jadi satu dengan peluh penumpang, teriakan pedagang asongan menawarkan tisu atau permen, gerak cepat copet, serta anak-anak sekolah yang mencoreti kursi bis dengan nama pacarnya. Sesekali terhirup karbon monoksida dari jalanan macet. Sesak. Dan sesak inilah yang dibawa berkeliling oleh bis-bis kota. Dari terminal ke terminal. Tak ada yang ditawarkan selain rutinitas.
No comments:
Post a Comment