Saturday, May 28, 2005

dan waktu berhenti dalam secangkir kopi...

Sejujurnya aku merasa tidak rela mengeluarkan lebih dari 25 ribu rupiah untuk segelas kopi. Maka, kalaupun aku berada di Starbucks atau semacamnya, bisa dipastikan itu bukan inisiatifku. Paling sering karena ajakan dua adik sepupu perempuanku yang tinggal satu rumah. Aku tidak bisa menolak kebersamaan ini, tetapi benakku tetap saja berhitung setiap kali bertransaksi dengan si barista. Aku suka kopi, tapi tidak suka harganya. Betapapun lezatnya, aku tetap merasa ini tidak masuk akal. Di tempat lain yang tak kalah nyaman, dengan harga segitu aku bisa mendapatkan secangkir kopi plus kroisan daging asap yang enak.

Hal kedua, aku tidak suka cara mereka mengemas minumannya. Harga itu terlalu mahal untuk kemasan murahan mereka. Aku bilang murahan, karena kopi-kopi mereka dihidangkan dalam gelas plastik atau kertas. Sekali pakai, lalu dibuang. Sudah begitu, kita memesan sambil berdiri di depan kasir lalu membawa sendiri minuman-minumannya diiringi musik yang kadang berirama cepat. Menurutku, sama sekali nggak nyambung!

Iya nggak nyambung. Minum kopi kok kayak di restoran fast food. Jauh dari bayanganku tentang minum kopi di cafe: kopi hitam dalam cangkir beling yang menyimpan panasnya dengan baik, suasanya cozy dengan musik yang tenang, obrolan seru dengan teman-teman, membuatku betah berlama-lama bahkan jika aku datang sendirian saja.

Aku jadi inget Jazz Coffee-nya mbak Ani di Jogja dulu. Aku pernah dapet suasana itu di sana. Aku paling sering memesan kopi Toraja, menurutku rasanya agak-agak bau daun. Secangkir berharga lima ribu dan cukup enak untuk menemaniku berlama-lama di sana. Suasananya homy banget dengan mba’ Ani jadi ibu rumah. Pelanggannya saling kenal dan saling bercerita.

Atau warung kopi Jasa Ayah di Ule Kareng, Banda Aceh. Aku ke sana pasca gempa, dan warung itu jadi favorit para relawan. Kopi Aceh dibuat dengan cara yang unik, di saring-saring gitu deh... Trus disajikan dalam gelas-gelas kecil. Empat ribu satu gelas. Di warung lain, ada yang harganya lebih murah. Ruangan tempat minum kopi sih biasa aja. Meja-mejanya berukuran besar dan tertata seperti meja makan. Tapi toh kami selalu betah berlama-lama. Apalagi makanannya enak-enak. Dalam sekali kedatangan, aku bisa pesen telur setengah matang, martabak Aceh, mie Aceh, trus kue-kue basahnya yang enak... Dan, percaya nggak... pertama kali ke sana aku ketemu Fahmi, temen kuliahku di Jakarta yang asal Aceh. Ternyata, itu emang warung kopi yang sering dia ceritakan.

Aku juga inget warung kopi di Sabang. 750 segelas! Aku dan Dodi sampai terkaget-kaget waktu mau bayar. “Berapa?” Dodi mengulang pertanyaan, “Kopinya dua gelas, lho...” Tapi ibu pemilik warung tidak berubah pikiran, “Seribu lima ratus, dua kopi,” katanya.

Memang suasana Jazz Coffee-nya Mba Ani dan warung-warung kopi di Aceh nggak se’mahal’ cafe-cafe di Jakarta. Tapi mereka menawarkan ruang yang nyaman untuk aku kembali, kembali, dan kembali ke sana terus untuk menikmati secangkir kopi yang uapnya mengepul, menyeruputnya pelan-pelan, lalu mengobrol atau sekedar duduk berlama-lama. Dan waktu seperti berhenti di warung-warung kopi ini.

3 comments:

Sofie said...

duuuuu, jadi kangen secangkir kopi dan pertemanan.....

Anonymous said...

Jadi pengen..

Unknown said...

salam kenal, nanti kalo mampir ke balikpapan saya traktir di cangkir kopi