Tuesday, September 09, 2008

ini bukan Jakarta

Judul: Alamku Tak Seramah Dulu
Penulis: Dodi Rokhdian, dkk.
Ilustrator: Oceu Apristawijaya
Editor: Aditya Dipta Anindita
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Juni 2006

Ini bukan kisah tentang Jakarta: ada Penguwar yang sedang mengendap-endap hendak menombak seekor rusa di tengah kelebatan hutan basah Sumatra, Sipar yang menikmati sejuknya mata air di lereng Merapi, atau Sukenti kecil yang riang menjelajahi kekayaan alam desanya di Deli Serdang.

Seharusnya, Haposan yang tinggal di Sumbul, Sumatra Utara pun punya mata air jernih tempat ia dulu biasa mandi sambil bermain air dengan riang gembira. Seharusnya juga, Qodir yang tinggal di sebuah desa di Jawa Barat tak perlu menghabiskan harinya di liang gelap untuk mencari emas sementara sungai-sungai di desanya mulai tercemar merkuri limbah pemrosesan emas.

Buku ini bercerita tentang perubahan. Bermula dari satu demi satu pohon yang tumbang dan rusa yang mati di hutan Penguwar, lalu satu demi satu sungai yang tak lagi bisa direnangi oleh Sipar, Haposan, Qodir dan Sukenti. Dongeng-dongeng bijak para tetua yang tergantikan oleh cerita televisi, adat tak lagi bisa mengelola kehidupan ketika manusia mulai bergerak dalam naluri dan logika pasar, dan kita kadang tak membayangkan pilihan selain mengikuti saja.

Pembicaraan mengenai globalisasi selama ini lebih banyak terjadi di ruang-ruang akademis sambil beradu kehebatan teori, mulai dari modernisme sampai cultural studies, mulai dari Herbert Marcuse sampai Stuart Hall.

Penguwar, Sipar, Haposan, Qodir dan Sukenti - lima tokoh belia dalam buku ini - mungkin tidak terkenal seperti Stuart Hall dan tak pernah membaca teori tentang globalisasi. Tapi mereka merasakan benar bagaimana alam tempat hidupnya perlahan mulai berubah dan hidup menjadi lebih sulit ketika hutan dan desa mereka telah terlibat dalam jaringan besar koneksitas: globalisasi. Maka, alamku tak seramah dulu!

Ini bukan Jakarta. Tapi sangat layak dan perlu dibaca!