Monday, February 18, 2008

Why Bangkok?



“Sa wat dii kha …” begitulah kota ini menyapaku. Tak hanya oleh petugas bandara, resepsionis penginapan atau pedagang souvenir di sepanjang Khaosan Road. Melalui berbagai tanda (sign) dan papan informasi, kota ini seakan menyapaku, memudahkan perjalanan pertamaku mengenalinya.
This is ‘a Bangkok birthday trip’ dan aku melakukannya sendirian.

Tebaran tanda dan informasi ini didukung dengan jaringan transportasi yang baik dan nyaman sehingga aku seperti tak dibiarkan kebingungan di dalamnya. Ini bagian yang menyenangkan dari perjalanan, menjadi pejalan di kota asing. Sok keren aja: sepatu sendal teva, daypack, kamera dan peta. Bahkan aku sama sekali tidak ingat untuk membuka Lonely Planet saking mudahnya berjalan di sini.
Aku mencoba hampir semua angkutan umum: ojek, boat, tuk-tuk (seperti bajai), taksi, subway dan sky train. Yang belum adalah kereta disel dan bis kota karena rutenya ditulis hanya dengan huruf Thai. Mungkin angkutan ini tidak diperuntukkan bagi pendatang. Sementara tanda-tanda dan informasi di sarana transportasi lainnya ditulis dalam huruf latin dan Thai dengan sangat komunikatif.

Waktu naik boat lalu nyambung dengan sky train, aku sempet kepikir, mungkin jaringan transportasi seperti ini yang pengen dibangun ama Sutiyoso lewat waterway dan busway. Sungai Chao Phraya adalah bagian penting dari jaringan transportasi kota Bangkok. Ada beberapa jenis boat (dibedakan dengan bendera) yang berhenti di dermaga-dermaga bernomer urut. Dermaga paling ujung menyambung dengan jalur sky train. Ini jalur anti macet.
Perjalanan dengan public boat menyenangkan karena kita bisa liat berbagai landmark kota di kanan kiri sungai di sepanjang perjalanan. Tapi, kebayang nggak kalau angkutan jenis ini dicobakan di Jakarta. Kira-kira pemandangan apa yang kita bakal dapatkan di sepanjang perjalanan? Bedanya adalah pada cara memperlakukan sungai. Mereka menjaga benar Chao Phraya bahkan ikan-ikannya pun dilarang untuk ditangkapi.

Satu lagi hal penting yang dipunyai Bangkok adalah ruang terbuka. Sebuah sore, ketika aku terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan, aku menikmati duduk di deretan panjang bangku sambil mengamati air mancur cantik di sebuah plaza terbuka di antara stasiun sky train dan sebuah sentra belanja. Di tempat lain, ada bangku-bangku taman kota yang selalu dipenuhi burung-burung merpati, taman di tepi danau yang menjadi tempat istirahat saat kelelahan belanja di Chatuchak (pasar terbesar di Asia Tenggara yang buka cuma pas weekend) atau menyengaja jogging dan senam di Lumphini.

Aku inget Jakarta. Dulu, gedung Danamon di perempatan Karet yang sekarang dibeli oleh Sampoerna punya plaza dengan bangku-bangku yang selalu ramai terutama saat jam pulang kantor. Terkadang, tak sekadar menunggu bis di sana, tetapi juga sejenak melepas penat atau menjadi titik pertemuan dengan teman. Tapi plaza itu tidak lama, seiring berganti-gantinya kepemilikan gedung itu. Dan sekarang, mungkin kita tidak bisa lagi berharap.

Kalau kita berani capek-capek promosi Visit Indonesia 2008, mestinya jangan biarkan tamu-tamu kita (atau bahkan orang kita sendiri) kebingungan mencari tahu rute bis kota atau kenapa justru penjual teh botol di pinggir jalan lah yang menyediakan bangku-bangku pelepas lelah dalam perjalanan?

Khawp khun kha…

Lebak Bulus Undercover

Sebuah sore di Stadion Lebak Bulus dalam pertandingan Persija melawan Persib. Ini pertandingan bola live pertamaku. Aku bukan penggemar dan sejujurnya tidak tahu apa-apa tentang sepak bola. Tetapi aku bersama seorang teman yang bercerita tentang ketakjubannya menonton pertandingan pertamanya dalam kenangan gandengan tangan ayahnya saat ia duduk di kelas satu SD dan sejak itu pula ia tidak pernah melewatkan pertandingan yang melibatkan tim kotanya, Bandung. Sepak bola dan Persib menjadi bagian dari kesehariannya di gang yang kemudian melahirkan kelompok suporter dengan anggota lebih dari 20.000 orang: Viking.

Masalahnya, Lebak Bulus sama sekali bukan tempat yang aman untuk suporter berseragam selain oranye. Setidaknya untuk sore itu. Tiga kali terjadi tepat di belakangku orang berkelahi. Satu kalimat yang aku ingat dalam perkelahian itu adalah, “Periksa KTP-nya!” Kalau ketahuan orang Bandung, dijamin nggak selamet keluar dari stadion. Ini yang bikin aku ciut selama pertandingan dan nggak berhenti membisikkan doa, sekalipun kami dalam penyamaran kostum oranye di tribun VIP.

Stadion bergemuruh. Lagu-lagu dukungan tim oranye menggema selain makian terhadap tim lawan. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan temanku dalam penyamarannya. Ia harus ekstra hati-hati: tidak boleh kelepasan bicara dengan logat Sundanya atau spontan mengaktualisasikan dukungannya pada Persib. Mungkin ia merasa bersalah harus memakai kaos oranye sore itu. Sementara tak jauh di sebelah kiri kami seorang suporter perempuan memakai kaos yang bertuliskan makian terhadap suporter Persib. Di depan kami, seorang laki-laki mengikatkan kaos biru di sepatunya sehingga selalu terinjak setiap ia melangkah. Sore itu, kiper lawan terkena lemparan batu dan bis berpelat D yang mengangkut timnya rusak berat.

Barangkali ini bukan tentang Persija melawan Persib karena dalam nyanyian mereka jelas-jelas tersebut makian kepada The Jak atau Viking. Barangkali ini bukan lagi memaknai suatu pertandingan karena bahkan di lain hari ketika Persija melawan yang lain, tetap saja nyanyian makiannya ditujukan untuk Viking. Demikian juga sebaliknya, ketika Persib melawan Slemania di Jogja, ritual para suporter dimulai dengan membakar bendera oranye. Barangkali ini bukan tentang sepak bola karena dalam perjalanan wisata di Jogja, seorang beratribut Persib ‘disapa’ oleh anggota The Jak dan dipaksa melepas atribut birunya. Barangkali ini tentang Jakarta dan Bandung.

Tapi yang pasti, The Jak maupun Viking telah memberi identitas kepada orang-orang muda yang selama ini tidak mendapat tempat di ruang formal karena dianggap bandel. Dan stadion, adalah arena aktualisasi diri. I love the game!