Friday, August 04, 2017

Toronto: Kota yang Percaya pada Warganya

Mirip dengan Jogja, orang-orang di Toronto menggunakan mata angin sebagai orientasi arah. Bedanya, kalau di Jogja patokannya adalah Gunung Merapi di utara, maka di Toronto patokannya adalah Danau Ontario di selatan. Tentu danau tidak seperti gunung yang langsung terlihat tanpa halangan. Tapi menanyakan letak danau sepertinya cukup umum di sini, dan dapat dengan mudah dijawab oleh orang di sana.

Seminggu di Toronto, Canada, kami hampir melulu menelusurinya dengan angkutan umum, --hanya saat pulang dan pergi dari bandara, juga acara-acara dengan KJRI kami dijemput mobil plus sekali dipesankan uber karena sudah cukup larut. Kebetulan hotel tempat kami tinggal berada di down town dan dekat dengan stasiun MRT. Malahan, kalau jaraknya masih di bawah 2 km, kami memilih jalan kaki. Apalagi trotoarnya nyaman, juga cuaca yang bersahabat. Summer tapi masih terhitung sejuk untuk kami orang tropis.


Angkutan umumnya juga nyaman. Antara MRT, bus dan trem (street car) terkoneksi dan hanya perlu sekali bayar untuk sekali jalan. Artinya, kita bisa berganti tiga moda itu dalam satu kali perjalanan hanya satu kali membayar dan menunjukkan tiket transfer saat akan berpindah. Harga tiket, baik untuk MRT, bus, maupun trem, sama semua yakni $3.25 untuk warga biasa. Untuk pembelian lebih dari 3, diskon menjadi $3/orang. Untuk manula dan anak-anak, ada harga khusus.


Satu yang aku perhatikan, tidak ada petugas pemeriksa tiket di sana. Untuk MRT, misalnya, orang yang tidak punya tiket terusan akan membeli token yang berbentuk seperti koin dengan diameter sekitar 1 cm, langsung dimasukkan di kotak kenclengan di depan petugas loket. Kadang kalau kehabisan token, kita diminta langsung masukin duitnya. Pemegang tiket bus, cukup menunjukkan tiketnya ke petugas loket, entahlah si petugas sempat baca jam dan tanggal di tiket bus itu atau tidak. Percaya aja, sepertinya.

 

Juga pengalaman saat naik Go Train, kereta commuter ke luar kota Toronto. Tiket dibeli di loket. Lalu kami menuju peron yang ditentukan. Saat masuk peron, di dalam kereta, maupun saat tiba di stasiun tujuan, tidak sekalipun ada petugas yang memeriksa tiket. Tiketnya pun kertas, bukan macam kartu yang di-tap di pintu masuk dan keluar. Rasanya, kalau tadi ngga beli tiket, juga ngga akan ketahuan. Hehehe…


 Untuk bis, tiket bisa dibayarkan dengan uang pas ke sopirnya lalu kita akan diberi kertas tiket. Kecuali kalau kita naik MRT sebelumnya, tinggal menunjukkan tiket transfer yang bisa diambil di mesin di dalam stasiun. Berbeda dengan trem yang menyediakan mesin tiket di halte dan di atas bus. Dan, baru tau kalau mesin itu hanya menerima koin, padahal yang kami pegang uang kertas. Celingukan, ngga ada petugas, sementara sopirnya jauh di depan (mungkin sekali bisa bayar langsung ke sopirnya kayak naik bus). Mungkin bisa duduk aja, cuek, toh nanti kalau sambung MRT juga bayar. Tapi lalu ada penumpang yang nawarin koinnya untuk ditukar. Lega deh, karena akhirnya bisa nyobain mesin tiket. Hehehe…

Sebetulnya sistem transportasinya sangat nyaman dan jelas informasinya. Yang membingungkan aku justru kontrolnya yang sangat longgar. Jadi ngebayangin, apakah ada, atau banyakkah warganya yang suka nilep-nilep ongkos? Hehehe…


 Aku menulis ini tidak untuk membandingkannya dengan Indonesia atau Jakarta. Toh tetap tidak ada menunggu bus yang senikmat sambil makan siomay atau gorengan. Berjalan kaki menelusuri kota, menaiki transportasi publik adalah pintu kita memahami denyut suatu kota.