Aku suka sekali baju berbahan linen. Pada awal masa kuliahku, di akhir 90-an, sama sekali tidak mudah menemukan baju linen di pasaran. Sekalinya ketemu, aku pasti bisa bela-belain membelinya. Kadang aku pun bela-belain mengusahakannya sendiri dengan beli kain dan pergi ke penjahit. Aku tidak menunggu pasar menyediakan gayaku.
Pokoknya mah, linen itu aku banget…
Tapi belakangan aku keteteran juga ketika toko-toko sudah menjual apa saja. Semua gaya ada, termasuk linen favoritku. Awalnya senang-senang aja ketika dengan mudah menemukan sesuatu yang bisa bikin aku mengguman gue banget. Tapi lama-kelamaan, aku jadi kehilangan sensasi being different. Apalagi ketika baju-baju berbahan looks-like-linen mulai masuk di toko-toko Melawai atau Mangga Dua. Walah, pasaran banget!
Memang begitulah, barang-barang yang dijual di Melawai kebanyakan looks-like-something. Saat trend pasmina yang kalau di Mall berharga sampai ratusan ribu, kamu bisa dapet barang yang sekilas sama dengan harga hanya 25.000 di Melawai. Lalu ketika trend orang pake blazer. Mau warna merah, kuning, ijo, atau pink, semua ada di Melawai.
Jangankan baju berbahan linen kesukaanku, bahkan waktu jamannya baju distro yang dulunya muncul dengan semangat indie (yang pengen keluar dari sistem pasar) sekarang bisa ditemukan di Melawai. Entah indie beneran atau cuma looks-like-distro. Yang jelas beberapa kaos dengan disain ala distro itu juga mencantumkan mereknya besar-besar: distro. Jadi pasti benar ini baju distro :)
Tapi bagaimanapun juga, Melawai – seperti juga distro – menjadi counter bagi mal-mal dengan kapital dan jaringan konglomerasi yang hebat. Satu hal yang menyenangkan, kadang kala Melawai menyediakan trendnya sendiri yang tidak dapat dikejar oleh mall. Misalnya, sandal plastik berwarna-warni, justru sangat mudah didapatkan di Melawai.
Tapi tentang baju linen yang jadi pasaran, tetap saja membuatku gelisah. Mungkin aku harus mencari sesuatu yang baru, sesuatu yang benar-benar independent dan individually. Jika bukan lagi baju berbahan linen, atau kaos produk distro yang sekarang dipakai banyak orang, mungkin saya harus menjadi anti-trend karena justru lebih banyak orang merasa nyaman dengan memakai produk yang juga dipakai banyak orang.
*Beberapa hari yang lalu, pasar melawai kebakaran. aku melihat kepanikan para pedagang pagi itu. Jangan, jangan menyerah, karena gaya orang satu Jakarta ada di sana…
Tuesday, September 13, 2005
bis kota keliling jakarta
Kemarin agak kaget ketika kenek bis patas Mayasari minta ongkos enam ribu satu orang. Katanya, emang gitu kalau rute Blok M – Cikarang. Tapi aku kan turun di Jatibening? Sama aja, katanya. Kecuali kalau naik dari Jatibening ke Blok M.
Sebenernya berapa sih ongkos resmi bis kota?
Kalau naik patas AC Cileduk-Senen, aku biasa bayar Rp. 3.500,00. Ini udah naik. Dulu sebelum BBM naik, ongkosnya Rp. 3.300,00. Kalau naik yang jurusan Pulau Gadung, kernetnya suka minta Rp. 4.000,00, tapi kalau aku bilang bahwa aku turun di Sudirman, tarifnya jadi tiga setengah lagi. Sekali waktu aku naik bis AC Blok M – Rawamangun. Kernetnya aku kasih duit lima ribuan. Eh, kembaliannya Rp. 1.700,00.
Terus terang aku agak bingung, apakah tarif bis Patas AC memang berlainan?
Lain lagi kalau naik Metromini 69 yang harusnya bayar Rp. 1.400,00. Setiap kali kasih 1.500,00 nyaris nggak pernah dapet kembalian. Emang sih, uang 100 buat satu orang mungkin kecil sekali artinya. Buatku, itu jatah untuk pengamen di bis. Tapi coba dihitung, kalau setiap penumpang satu bis, dalam sehari, menyumbang 100 rupiah! Pasti nominalnya gede juga.
Cuma, aku selalu inget mama pernah pesen. Kasusnya di Jogja sih, yang keneknya selalu ribut minta ongkos umum ke mahasiswa atau pelajar yang nggak pake seragam. Kata mama, mahasiswa memang miskin, tapi kok yang disuruh mensubsidi kernet bis. Artinya, orang miskin membantu orang miskin. Intinya jangan pelit ama kernet bis.
Makanya, aku kadang feel guilty juga kalau naik PPD 67 Senen – Blok M yang lewat Salemba. Soalnya, meskipun kasih duit dua ribu, pasti kembaliannya lima ratus. Padahal ongkos resminya Rp. 1.600,00. Viva 67, deh!
Sebenernya berapa sih ongkos resmi bis kota?
Kalau naik patas AC Cileduk-Senen, aku biasa bayar Rp. 3.500,00. Ini udah naik. Dulu sebelum BBM naik, ongkosnya Rp. 3.300,00. Kalau naik yang jurusan Pulau Gadung, kernetnya suka minta Rp. 4.000,00, tapi kalau aku bilang bahwa aku turun di Sudirman, tarifnya jadi tiga setengah lagi. Sekali waktu aku naik bis AC Blok M – Rawamangun. Kernetnya aku kasih duit lima ribuan. Eh, kembaliannya Rp. 1.700,00.
Terus terang aku agak bingung, apakah tarif bis Patas AC memang berlainan?
Lain lagi kalau naik Metromini 69 yang harusnya bayar Rp. 1.400,00. Setiap kali kasih 1.500,00 nyaris nggak pernah dapet kembalian. Emang sih, uang 100 buat satu orang mungkin kecil sekali artinya. Buatku, itu jatah untuk pengamen di bis. Tapi coba dihitung, kalau setiap penumpang satu bis, dalam sehari, menyumbang 100 rupiah! Pasti nominalnya gede juga.
Cuma, aku selalu inget mama pernah pesen. Kasusnya di Jogja sih, yang keneknya selalu ribut minta ongkos umum ke mahasiswa atau pelajar yang nggak pake seragam. Kata mama, mahasiswa memang miskin, tapi kok yang disuruh mensubsidi kernet bis. Artinya, orang miskin membantu orang miskin. Intinya jangan pelit ama kernet bis.
Makanya, aku kadang feel guilty juga kalau naik PPD 67 Senen – Blok M yang lewat Salemba. Soalnya, meskipun kasih duit dua ribu, pasti kembaliannya lima ratus. Padahal ongkos resminya Rp. 1.600,00. Viva 67, deh!
Subscribe to:
Posts (Atom)