Desember tahun lalu, untuk pertama kalinya aku ke Paris. Sebuah konferensi internasional di Paris meminta aku mempresentasikan Sokola Rimba di sana, tentu saja mereka menanggung biaya perjalanan dan akomodasi. Dan kesempatan langka ini kumanfaatkan sekalian untuk berjalan-jalan di Paris dan kota-kota negara lain di Eropa. Kapan lagi? ; )
Panitia menginapkan aku di hotel tempat acara yang berlokasi di Disneyland. Tempat ini sudah berada di luar kota Paris, tapi masih terjangkau dengan Metro (line kreta MRT di Paris). Kurang lebih seperti Bogor dan Jakarta. Kebetulan juga, rumah teman yang aku tuju untuk menginap setelah konferensi itu juga tidak jauh dari Disneyland. Hanya beberapa stasiun saja dari Disney, masih di luar kota Paris.
Gracia, temanku itu, memberikan informasi yang sangat detail tentang bagaimana aku mencapai apartemen mungilnya. Dia wanti-wanti agar aku melihat papan rute dan memastikan lampu kecil di bawah nama stasiun yang aku tuju menyala. Baiklah, dengan ransel besar di belakang dan ransel kecil di depan, pelan-pelan aku beranjak dari hotel.
Stasiunnya tak seramai yang aku bayangkan, mungkin karena di pinggir kota. Setelah membeli tiket, aku pun naik ke peron. Sepi. Ada satu kereta menunggu di sana. Aku tidak tahu apakah itu kereta yang dimaksud atau bukan. Aku belum cukup familiar dengan rambu-rambu berbahasa Prancis karena itu perjalanan pertamaku.
Tiba-tiba ada seorang anak muda, mungkin usianya sekitar 14 tahun. Dia mendekati lalu bertanya dengan bahasa Prancis. Aku tidak paham, tapi aku memperlihatkan tiketku padanya. Dia langsung menyuruhku masuk kereta yang berhenti. Lagi-lagi sepi dalam gerbong itu. Cuma ada dua orang termasuk aku. Ada papan rute di atas pintu, tapi karena dalam keadaan berhenti, lampunya pun tidak menyala. Untuk meyakinkan lagi, aku bertanya pada anak tadi dengan bahasa Inggris. Dia cuma yes yes aja. Harusnya dia mengerti, karena aku memperlihatkan tiketku.
Anak itu sempat pergi, lalu kembali lagi dan memberikan secarik kertas kepada penumpang-penumpang Metro. Aku sudah lupa tepatnya, ditulis dalam bahasa Inggris kurang lebih isinya bahwa dia adalah imigran dan tidak punya uang. Whoa, sama dengan yang sering kualami di Metromini di Jakarta. Karena aku tidak tahu berapa biasanya orang memberi, aku putuskan untuk tidak memberi. Maaf ya... Hehehe... Backpaker kan harus irit...
Untung tidak memberi. Karena begitu lampu dinyalakan dan kereta berjalan, ternyata lampu di bawah tulisan stasiun tujuanku tidak menyala. Aku tertipu! Hmmmfff... Masalah selesai dengan berhenti di stasiun lain dan menunggu kereta berikutnya, tentu saja setelah memastikan bahwa keretanya berhenti di stasiun tujuan.
Pengalaman buruk bermetro tak hanya sekali itu. Pada perjalanan ke Bandara di hari terakhirku di Paris, ada kejadian lain yang cukup mengganggu dan membuat tak nyaman orang asing sepertiku. Kereta tiba-tiba berhenti di sebuah stasiun kecil. Tak ada keterangan resmi berbahasa Inggris tentang penyebab dan bagaimana kami harus meneruskan perjalanan ke bandara.
Dalam kebingungan, aku berkelompok dengan dua perempuan setengah baya dari Belanda dan perempuan muda dari Amerika yang sama-sama orang asing dan menuju bandara. Kami sama-sama tidak mengerti pengumuman bahasa Prancis tentang situasi itu dan memutuskan mencari taksi di luar. Biayanya dibagi empat. Tidak mudah mencapai pintu keluar, apalagi mereka bertiga masing-masing membawa koper besar menuruni tangga dan menghindari genangan air di stasiun yang tampaknya sedang direnovasi itu. Karenanya pula kami melewati lorong-lorong darurat yang mungkin untuk menghindari bagian yang direnovasi. Dan aku juga tidak ingat mengapa kami harus menerobos palang otomatis. Mungkin karena itu bukan stasiun tujuan kami. entahlah, aku sudah lupa.
Belum sempat semua orang menerobos palang otomatis, petugas menyuruh kami kembali ke atas karena jalur kereta sudah pulih kembali dan dalam 15 menit akan ada kereta yang lewat. Hmm, baiklah. Kami naik kembali ke peron dengan sama susahnya saat turun tadi.
Begitulah. Aku tidak langsung naik kereta pertama yang lewat karena sangat penuh lebih dari 30 menit kemudian . Toh pesawatku masih cukup lama. Sengaja aku sisakan waktu panjang agar sempat mengurus ransel besarku yang dititip di loker bandara.
Begitulah. Berkereta di Paris tak lebih baik dari Jakarta. Maksudku, Paris dan Jakarta sama-sama kota besar. Pasti punya persoalan urban yang kurang lebih sama juga. Di beberapa stasiunnya aku juga menemukan sudut-sudut gelap dan berbau pesing. Ngga beda kan, sama di Jakarta.. hehehe...
Tapi kesempatan menelusuri jalanan Paris, menuju berbagai tempat dengan Metro, menghirup dingin dan basah oleh salju bulan Desember di sana, ah, aku sungguh beruntung ; )