Judul: Alamku Tak Seramah Dulu
Penulis: Dodi Rokhdian, dkk.
Ilustrator: Oceu Apristawijaya
Editor: Aditya Dipta Anindita
Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Juni 2006
Ini bukan kisah tentang Jakarta: ada Penguwar yang sedang mengendap-endap hendak menombak seekor rusa di tengah kelebatan hutan basah Sumatra, Sipar yang menikmati sejuknya mata air di lereng Merapi, atau Sukenti kecil yang riang menjelajahi kekayaan alam desanya di Deli Serdang.
Seharusnya, Haposan yang tinggal di Sumbul, Sumatra Utara pun punya mata air jernih tempat ia dulu biasa mandi sambil bermain air dengan riang gembira. Seharusnya juga, Qodir yang tinggal di sebuah desa di Jawa Barat tak perlu menghabiskan harinya di liang gelap untuk mencari emas sementara sungai-sungai di desanya mulai tercemar merkuri limbah pemrosesan emas.
Buku ini bercerita tentang perubahan. Bermula dari satu demi satu pohon yang tumbang dan rusa yang mati di hutan Penguwar, lalu satu demi satu sungai yang tak lagi bisa direnangi oleh Sipar, Haposan, Qodir dan Sukenti. Dongeng-dongeng bijak para tetua yang tergantikan oleh cerita televisi, adat tak lagi bisa mengelola kehidupan ketika manusia mulai bergerak dalam naluri dan logika pasar, dan kita kadang tak membayangkan pilihan selain mengikuti saja.
Pembicaraan mengenai globalisasi selama ini lebih banyak terjadi di ruang-ruang akademis sambil beradu kehebatan teori, mulai dari modernisme sampai cultural studies, mulai dari Herbert Marcuse sampai Stuart Hall.
Penguwar, Sipar, Haposan, Qodir dan Sukenti - lima tokoh belia dalam buku ini - mungkin tidak terkenal seperti Stuart Hall dan tak pernah membaca teori tentang globalisasi. Tapi mereka merasakan benar bagaimana alam tempat hidupnya perlahan mulai berubah dan hidup menjadi lebih sulit ketika hutan dan desa mereka telah terlibat dalam jaringan besar koneksitas: globalisasi. Maka, alamku tak seramah dulu!
Ini bukan Jakarta. Tapi sangat layak dan perlu dibaca!
Tuesday, September 09, 2008
Wednesday, June 18, 2008
busway is not my way!
Sudah lama nggak ke Salemba, sekitar satu setengah tahun sejak aku lulus kuliah S2 di UI. Sekarang, udah ada jalur bis Transjakarta melewati kampus. Bahkan haltenya tepat di depan kampus.
Sebut saja busway dan aku berniat mencobanya. Jam 12.10 pm, selesai sedikit urusan di kampus UI Salemba. Masih ada 50 menit untuk mengejar jam buka kolam renang di Pasar Festival. Kalau masuk jam satu siang, tiketnya hanya Rp 1.600. Makanya dibela-belain. Dan ini kesenangan baruku di Jakarta yang menyehatkan.
Aku masih punya 50 menit. Kupikir cukuplah. Busway kan punya jalur sendiri. Harusnya lancar.
Ternyata aku salah duga.
Ternyata aku salah duga.
Dari Salemba ke Kuningan harus tiga kali naik busway. Pertama rute Salemba – Matraman, disambung Matraman – Dukuh Atas dan terakhir baru Dukuh Atas – Kuningan. Halte pertama masih oke. Lima menit menunggu rasanya sangat wajar. Di halte Matraman depan Gramedia, aku turun lalu naik ke jembatan untuk ke halte transit. Walah ya ampun, di pintu Dukuh Atas orang yang antre sudah berjubel. Ada 50an orang. Belum lagi di pintu satunya. Mulailah menit-menit menunggu.
Busway ke-lima, baru aku bisa naik setelah setengah jam menunggu. Jelaslah nggak dapet tempat duduk. 13.08 sampai di halt Dukuh Atas, lalu harus menunggu lagi busway jurusan Ragunan yang lewat Kuningan. Lima menit... sepuluh menit... lima belas menit... Aku udah mulai menyesal. Kebayang kalau tadi naik bemo dari RSCM ke Manggarai, trus nyambung naik Kopaja 66, mungkin aku udah sampe. Toh, lalu lintas jam satu siang nggak terlalu macet. Paling banyak ongkosnya beda dua ribu lebih mahal dibanding busway dan aku mungkin sudah berada di tengah kolam renang Pasar Festival sekarang.
Tapi aku masih di halte Dukuh Atas berdesakan dengan banyak orang. Di punggung, terasa keringatku menitik. Kaki pegel karena lebih dari satu jam berdiri. Baru di menit ke-duapuluh busway-nya dateng. Antreanku bukan di paling depan. Tapi apa boleh buat, harus maksa naik dari pada nunggu lebih lama. Lagi pula, harga kolam renang 1.600 cuma sampai jam tiga.
13.35 akhirnya sampai di Pasar Festival. Satu jam dua puluh menit, Salemba – Kuningan ternyata perjalanan panjang yang harus dibayar dengan keringat, kaki pegal dan perut keroncongan. Nggak mungkin berenang kalau belum makan, sementara waktu berenang murah hampir habis. Satu jam di berenang pasti nggak puas. Kepalang tanggung juga kalau pulang. Akhirnya aku menunggu masuk jam empat untuk harga tiket Rp 10.100, sambil makan dan mengetik ini. Sambil merutuk-rutuk. Gimana enggak, tadi naik busway beralasan lebih murah dari pada naik dua kali angkutan. Ya iya, lebih murah. Tapi jadinya renangku yang harus bayar lebih mahal!
Efektifkah busway? Efisienkah?
Busway-nya emang nggak macet. Tapi haltenya jauh lebih macet. Besok-besok pasti pikir dua kali naik busway model begini. Amannya ya yang satu trip, misalnya Blok M – Kota. Kalau untuk yang transit-transit, sorry deh, kecuali aku punya banyak waktu dan kerelaan untuk menunggu. Aku membuktikan, busway is not my way...
Thursday, May 29, 2008
Jakarta Kelabu
Sudirman 17:54. Empat perempuan duduk di halte dengan aksi yang sama: menutup hidung dengan tisu atau sapu tangan. Udara abu-abu memang tak nyaman untuk bernafas. Apalagi dengan jarak kendaraan yang rapat dan tak kunjung berlalu. Sore ini kelabu.
Sama kelabu dengan wajah-wajah letih sepulang kerja. Sama kelabu ketika menyadari kenyataan bahwa ongkos bis kota naik, dan ada di antaranya naik dengan semena-mena. Aku masih maklum kalau ongkos Kopaja dan Metromini naik dari Rp 2.000 jadi Rp 2.500. Baiklah. Bukan aku mendukung kenaikan harga BBM, tapi menyadari konsekuensi bahwa kehidupan keluarga kernet bis makin sulit setelah naiknya BBM membuatku rela saja membayar kenaikan ongkos bis.
Tapi ada yang menurutku semena-mena: Bis Bianglala 44 Cileduk-Senen. Ini ruteku pada suatu pagi. Dan aku harus cemberut ketika membaca pengumuman tarif baru yang ditempel di dalam bis. Ongkos yang semula Rp 5.000 kini naik jadi Rp 7.000. Artinya kenaikannya Rp 2.000. Artinya mereka menaikkan ongkos 40%. Serombongan ibu yang berdiri di belakangku terdengar mengomel. Katanya, BBM saja naik tidak sampai 15%, kenapa ongkos bis naik semahal itu. Tapi kernet tidak peduli sama sekali.
Aku turun di Ratu Plasa, melanjutkan perjalanan dengan Patas AC Mayasari 05 Blok M – Bekasi. Yang ini naiknya masih wajar, dari Rp 5.500 jadi Rp 6.500. Padahal bis ini lewat tol. Jadi emang keterlaluan Patas AC 44 itu! Aku lebih terkejut lagi sewaktu perjalanan pulang dengan Patas AC Mayasari 35 Senen-Cileduk, aku membayar Rp 1.000 lebih murah dari pada Bianglala 44 padahal rutenya hampir sama.
Jakarta makin kelabu dengan tampang-tampang cemberut di bis kota karena kenaikan ongkos. Mau tidak mau harus berpikir ekonomis. Turun di pintu tol Jati Bening, aku disambut teriakan para tukang ojek yang rupanya sudah mengenaliku, “Kranji, Kraji!” Kujawab saja, “Enggak, Bang, Kali Malang situ!” Tukang ojek ganti yang kelabu... “Habis gimana lagi, BBM naik, ojek pasti naik. Rute rumah-kantor bisa-bisa sampe Rp 40.000 kalau aku sambung pake ojek sampe kantor. Ya sudah, Kali Malang saja lalu sambung pakai Mikrolet yang juga naik ongkosnya... Hiks...
Sama kelabu dengan wajah-wajah letih sepulang kerja. Sama kelabu ketika menyadari kenyataan bahwa ongkos bis kota naik, dan ada di antaranya naik dengan semena-mena. Aku masih maklum kalau ongkos Kopaja dan Metromini naik dari Rp 2.000 jadi Rp 2.500. Baiklah. Bukan aku mendukung kenaikan harga BBM, tapi menyadari konsekuensi bahwa kehidupan keluarga kernet bis makin sulit setelah naiknya BBM membuatku rela saja membayar kenaikan ongkos bis.
Tapi ada yang menurutku semena-mena: Bis Bianglala 44 Cileduk-Senen. Ini ruteku pada suatu pagi. Dan aku harus cemberut ketika membaca pengumuman tarif baru yang ditempel di dalam bis. Ongkos yang semula Rp 5.000 kini naik jadi Rp 7.000. Artinya kenaikannya Rp 2.000. Artinya mereka menaikkan ongkos 40%. Serombongan ibu yang berdiri di belakangku terdengar mengomel. Katanya, BBM saja naik tidak sampai 15%, kenapa ongkos bis naik semahal itu. Tapi kernet tidak peduli sama sekali.
Aku turun di Ratu Plasa, melanjutkan perjalanan dengan Patas AC Mayasari 05 Blok M – Bekasi. Yang ini naiknya masih wajar, dari Rp 5.500 jadi Rp 6.500. Padahal bis ini lewat tol. Jadi emang keterlaluan Patas AC 44 itu! Aku lebih terkejut lagi sewaktu perjalanan pulang dengan Patas AC Mayasari 35 Senen-Cileduk, aku membayar Rp 1.000 lebih murah dari pada Bianglala 44 padahal rutenya hampir sama.
Jakarta makin kelabu dengan tampang-tampang cemberut di bis kota karena kenaikan ongkos. Mau tidak mau harus berpikir ekonomis. Turun di pintu tol Jati Bening, aku disambut teriakan para tukang ojek yang rupanya sudah mengenaliku, “Kranji, Kraji!” Kujawab saja, “Enggak, Bang, Kali Malang situ!” Tukang ojek ganti yang kelabu... “Habis gimana lagi, BBM naik, ojek pasti naik. Rute rumah-kantor bisa-bisa sampe Rp 40.000 kalau aku sambung pake ojek sampe kantor. Ya sudah, Kali Malang saja lalu sambung pakai Mikrolet yang juga naik ongkosnya... Hiks...
Tuesday, May 20, 2008
work hard play hard
Sabtu sore di foodcourt pasar festival:
“Mbak, suka clubbing nggak?” “Emang kenapa?”
“Mbak bisa jadi member, nanti clubbingnya gratis seumur hidup. Cuma bayar seratus ribu.”
“Oh, saya udah punya member kok...”
Maksudku tentu saja SOKOLA – Alternative Education Club, lembaga tempatku bekerja. Tapi tentu saja tidak kusebut pada si mbak yang menawarkan clubbing, takut dia minder. Hehehe...
“Mbak, suka clubbing nggak?” “Emang kenapa?”
“Mbak bisa jadi member, nanti clubbingnya gratis seumur hidup. Cuma bayar seratus ribu.”
“Oh, saya udah punya member kok...”
Maksudku tentu saja SOKOLA – Alternative Education Club, lembaga tempatku bekerja. Tapi tentu saja tidak kusebut pada si mbak yang menawarkan clubbing, takut dia minder. Hehehe...
Kalau memang asalnya dari kata club, maka demikianlah aku ingin menyebut pekerjaanku. Clubbing. Karena kami memang menyebut diri klub, kumpulan orang sehobi dan sekesenangan. Dan berlangsunglah istilah ‘work hard play hard’ di kami tanpa harus memisahkan waktu kerja dengan waktu bersenang-senang. Di sini, keduanya bisa dilakukan bersama karena kami senang melakukan kerja ini dan kami bekerja karena memang ini cara bersenang-senang.
Bagaimana tidak bersenang-senang, di saat sebagian orang Jakarta bangun dini hari supaya bisa mengejar jam kantornya, kami bisa bangun saat merasa tidurnya sudah cukup bahkan kadang tidak perlu mandi dan berdandan untuk mulai memberi pelajaran pada murid-murid. Pun saat di Jakarta, aku punya kuasa untuk mengatur waktu tidurku, waktu bekerjaku, dan waktu ngantorku yang seminggu sekali. Tidak harus menunggu weekend untuk bisa berenang atau nonton bareng. Namanya juga alternatif, namanya juga clubbing... Jadi nggak perlu lagi clubbing di tempat lain.
Begitulah, pekerjaan ini sudah seharusnya disyukuri. Aku memikirkan ini saat melihat sepasang (sepertinya) suami istri berboncengan motor melewati Kali Malang, Bekasi, dengan tas kerja masing-masing dan raut wajah lelah. Waktu sudah mendekati pukul 18.00, jalan macet dan penuh asap kendaraan bermotor membuatku tergelitik untuk bertanya: “Jam berapa mereka harus bangun tiap pagi supaya tidak terlambat datang ke kantornya di Jakarta? Jam berapa mereka sampai rumah lagi, dan seberapa banyak sisa tenaga mereka untuk mengerjakan hal lain? Apakah mereka punya cukup waktu beristirahat tiap hari? Apakah mereka menikmati pekerjaannya?Apakah mereka bisa menikmati waktu luangnya?
Pertanyaan itu juga menggelitik ketika aku melihat setengah penumpang bis patas AC dari Ciledug tampak tertidur pada sebuah pukul tujuh pagi. Butuh setidaknya satu setengah jam dari terminal Ciledug untuk mencapai jalan utama Sudirman-Thamrin dalam pagi yang macet seperti itu. Bangun kepagian untuk mengejar jam kantor, lalu dibayar dengan tidur sepanjang perjalanan.
Ini Jakarta, di mana setiap orang bekerja keras. Ada yang bekerja untuk bertahan hidup, dan sebagian lainnya bekerja untuk bertahan gaya hidup, termasuk clubbing itu tadi...
Bagaimana tidak bersenang-senang, di saat sebagian orang Jakarta bangun dini hari supaya bisa mengejar jam kantornya, kami bisa bangun saat merasa tidurnya sudah cukup bahkan kadang tidak perlu mandi dan berdandan untuk mulai memberi pelajaran pada murid-murid. Pun saat di Jakarta, aku punya kuasa untuk mengatur waktu tidurku, waktu bekerjaku, dan waktu ngantorku yang seminggu sekali. Tidak harus menunggu weekend untuk bisa berenang atau nonton bareng. Namanya juga alternatif, namanya juga clubbing... Jadi nggak perlu lagi clubbing di tempat lain.
Begitulah, pekerjaan ini sudah seharusnya disyukuri. Aku memikirkan ini saat melihat sepasang (sepertinya) suami istri berboncengan motor melewati Kali Malang, Bekasi, dengan tas kerja masing-masing dan raut wajah lelah. Waktu sudah mendekati pukul 18.00, jalan macet dan penuh asap kendaraan bermotor membuatku tergelitik untuk bertanya: “Jam berapa mereka harus bangun tiap pagi supaya tidak terlambat datang ke kantornya di Jakarta? Jam berapa mereka sampai rumah lagi, dan seberapa banyak sisa tenaga mereka untuk mengerjakan hal lain? Apakah mereka punya cukup waktu beristirahat tiap hari? Apakah mereka menikmati pekerjaannya?Apakah mereka bisa menikmati waktu luangnya?
Pertanyaan itu juga menggelitik ketika aku melihat setengah penumpang bis patas AC dari Ciledug tampak tertidur pada sebuah pukul tujuh pagi. Butuh setidaknya satu setengah jam dari terminal Ciledug untuk mencapai jalan utama Sudirman-Thamrin dalam pagi yang macet seperti itu. Bangun kepagian untuk mengejar jam kantor, lalu dibayar dengan tidur sepanjang perjalanan.
Ini Jakarta, di mana setiap orang bekerja keras. Ada yang bekerja untuk bertahan hidup, dan sebagian lainnya bekerja untuk bertahan gaya hidup, termasuk clubbing itu tadi...
Wednesday, April 09, 2008
Hari Hujan di Makekal
Hari hujan,
nggak ada ojek,
jalan becek,
muka lecek…
Sungguh-sungguh terjadi padaku siang itu, dalam perjalanan menuju lokasi Sokola Rimba di tepi Sako Napu, Hutan Makekal, Jambi. Nasib tidak mengijinkan kami menempuh jalan merah berlumpur saat hujan turun karena saat itulah orang kaya si pemilik jalan menutup gerbang di ujung satu-satunya jalan yang menghubungkan desa SPG, Bungo Tanjung ke hutan Makekal.
Sebenarnya bukan satu-satunya. Ada jalan lama, orang kaya itu pula yang punya. Setelah dia membuat jalan baru dengan dua buldosernya menebas rimbunan hutan, jalan lama memang tak lagi ia gerbangi, tapi semua titian kayu yang melintasi sungai-sungai kecil di sepanjang jalan telah diputusnya. Tak ada lagi yang bisa melintas. Mau tak mau harus lewat jalan baru, itupun selalu ditutup saat dan setelah hujan dengan alasan tanah merah yang liat karena hujan akan cepat rusak kalau dilewati kendaraan bermotor. Yang tetap melintas, demikian tertulis di papan dekat gerbannya, akan didenda. Seratus ribu untuk motor.
Ya sudah, berjalan kakilah kami siang itu di bawah titikan hujan. Dalam basah aku mengumpat, “Sialan, jalan tol di Jakarta aja lebih murah!” Tapi percayalah, ini tidak mengurangi kenikmatan berjalan kaki sepanjang 17 kilometer yang tak mungkin aku lakukan di Jakarta. Hujan justru mendinginkan tanah, menyejukkan udara dan mengurangi peluhku.
Sambil berjalan dan sekali-sekali terperosok lumpur tanah merah, aku membayangkan perjalanan Orang Rimba keluar atau masuk hutan. Dulu, sebelum jalan ini dibuat, perjalanan tak semudah ini karena harus menerobos rimbunan hutan hujan: semak, duri, pacet, dan pasti lebih dari yang bisa kubayangkan. Lalu ketika kelebatan hutan berubah jadi kebun-kebun karet, si orang kaya membuat jalan demi memudahkan angkutan penjualan karetnya dan wilayah hidup Orang Rimba semakin mudah diakses.
Jalan menghubungkan Orang Rimba pada dunia terang, dunia yang mendapat lebih banyak asupan sinar matahari karena ketiadaan pepohonan seperti di rimba. Pantesan Jakarta panas minta ampun karena sedikit sekali pepohonan hijau. Di jalan merah yang membelah rimbunan hutan karet ini saja, panas minta ampun rasanya saat berjalan kaki di tengah hari yang terik.
Aku membayangkan Jakarta, yang panas, terik, macet dan berasap yang terus membuatku mual dan terbatuk-batuk. Bagaimanapun, hujan ini, sekalipun becek dan nggak ada ojek, harus disyukuri. Ini saatnya merehabilitasi paru-paru yang terkontaminasi polusi Jakarta. Maka aku tidak berharap ojek di sini, apalagi metromini atau busway!
nggak ada ojek,
jalan becek,
muka lecek…
Sungguh-sungguh terjadi padaku siang itu, dalam perjalanan menuju lokasi Sokola Rimba di tepi Sako Napu, Hutan Makekal, Jambi. Nasib tidak mengijinkan kami menempuh jalan merah berlumpur saat hujan turun karena saat itulah orang kaya si pemilik jalan menutup gerbang di ujung satu-satunya jalan yang menghubungkan desa SPG, Bungo Tanjung ke hutan Makekal.
Sebenarnya bukan satu-satunya. Ada jalan lama, orang kaya itu pula yang punya. Setelah dia membuat jalan baru dengan dua buldosernya menebas rimbunan hutan, jalan lama memang tak lagi ia gerbangi, tapi semua titian kayu yang melintasi sungai-sungai kecil di sepanjang jalan telah diputusnya. Tak ada lagi yang bisa melintas. Mau tak mau harus lewat jalan baru, itupun selalu ditutup saat dan setelah hujan dengan alasan tanah merah yang liat karena hujan akan cepat rusak kalau dilewati kendaraan bermotor. Yang tetap melintas, demikian tertulis di papan dekat gerbannya, akan didenda. Seratus ribu untuk motor.
Ya sudah, berjalan kakilah kami siang itu di bawah titikan hujan. Dalam basah aku mengumpat, “Sialan, jalan tol di Jakarta aja lebih murah!” Tapi percayalah, ini tidak mengurangi kenikmatan berjalan kaki sepanjang 17 kilometer yang tak mungkin aku lakukan di Jakarta. Hujan justru mendinginkan tanah, menyejukkan udara dan mengurangi peluhku.
Sambil berjalan dan sekali-sekali terperosok lumpur tanah merah, aku membayangkan perjalanan Orang Rimba keluar atau masuk hutan. Dulu, sebelum jalan ini dibuat, perjalanan tak semudah ini karena harus menerobos rimbunan hutan hujan: semak, duri, pacet, dan pasti lebih dari yang bisa kubayangkan. Lalu ketika kelebatan hutan berubah jadi kebun-kebun karet, si orang kaya membuat jalan demi memudahkan angkutan penjualan karetnya dan wilayah hidup Orang Rimba semakin mudah diakses.
Jalan menghubungkan Orang Rimba pada dunia terang, dunia yang mendapat lebih banyak asupan sinar matahari karena ketiadaan pepohonan seperti di rimba. Pantesan Jakarta panas minta ampun karena sedikit sekali pepohonan hijau. Di jalan merah yang membelah rimbunan hutan karet ini saja, panas minta ampun rasanya saat berjalan kaki di tengah hari yang terik.
Aku membayangkan Jakarta, yang panas, terik, macet dan berasap yang terus membuatku mual dan terbatuk-batuk. Bagaimanapun, hujan ini, sekalipun becek dan nggak ada ojek, harus disyukuri. Ini saatnya merehabilitasi paru-paru yang terkontaminasi polusi Jakarta. Maka aku tidak berharap ojek di sini, apalagi metromini atau busway!
Monday, February 18, 2008
Why Bangkok?
“Sa wat dii kha …” begitulah kota ini menyapaku. Tak hanya oleh petugas bandara, resepsionis penginapan atau pedagang souvenir di sepanjang Khaosan Road. Melalui berbagai tanda (sign) dan papan informasi, kota ini seakan menyapaku, memudahkan perjalanan pertamaku mengenalinya.
This is ‘a Bangkok birthday trip’ dan aku melakukannya sendirian.
Tebaran tanda dan informasi ini didukung dengan jaringan transportasi yang baik dan nyaman sehingga aku seperti tak dibiarkan kebingungan di dalamnya. Ini bagian yang menyenangkan dari perjalanan, menjadi pejalan di kota asing. Sok keren aja: sepatu sendal teva, daypack, kamera dan peta. Bahkan aku sama sekali tidak ingat untuk membuka Lonely Planet saking mudahnya berjalan di sini.
Aku mencoba hampir semua angkutan umum: ojek, boat, tuk-tuk (seperti bajai), taksi, subway dan sky train. Yang belum adalah kereta disel dan bis kota karena rutenya ditulis hanya dengan huruf Thai. Mungkin angkutan ini tidak diperuntukkan bagi pendatang. Sementara tanda-tanda dan informasi di sarana transportasi lainnya ditulis dalam huruf latin dan Thai dengan sangat komunikatif.
Waktu naik boat lalu nyambung dengan sky train, aku sempet kepikir, mungkin jaringan transportasi seperti ini yang pengen dibangun ama Sutiyoso lewat waterway dan busway. Sungai Chao Phraya adalah bagian penting dari jaringan transportasi kota Bangkok. Ada beberapa jenis boat (dibedakan dengan bendera) yang berhenti di dermaga-dermaga bernomer urut. Dermaga paling ujung menyambung dengan jalur sky train. Ini jalur anti macet.
This is ‘a Bangkok birthday trip’ dan aku melakukannya sendirian.
Tebaran tanda dan informasi ini didukung dengan jaringan transportasi yang baik dan nyaman sehingga aku seperti tak dibiarkan kebingungan di dalamnya. Ini bagian yang menyenangkan dari perjalanan, menjadi pejalan di kota asing. Sok keren aja: sepatu sendal teva, daypack, kamera dan peta. Bahkan aku sama sekali tidak ingat untuk membuka Lonely Planet saking mudahnya berjalan di sini.
Aku mencoba hampir semua angkutan umum: ojek, boat, tuk-tuk (seperti bajai), taksi, subway dan sky train. Yang belum adalah kereta disel dan bis kota karena rutenya ditulis hanya dengan huruf Thai. Mungkin angkutan ini tidak diperuntukkan bagi pendatang. Sementara tanda-tanda dan informasi di sarana transportasi lainnya ditulis dalam huruf latin dan Thai dengan sangat komunikatif.
Waktu naik boat lalu nyambung dengan sky train, aku sempet kepikir, mungkin jaringan transportasi seperti ini yang pengen dibangun ama Sutiyoso lewat waterway dan busway. Sungai Chao Phraya adalah bagian penting dari jaringan transportasi kota Bangkok. Ada beberapa jenis boat (dibedakan dengan bendera) yang berhenti di dermaga-dermaga bernomer urut. Dermaga paling ujung menyambung dengan jalur sky train. Ini jalur anti macet.
Perjalanan dengan public boat menyenangkan karena kita bisa liat berbagai landmark kota di kanan kiri sungai di sepanjang perjalanan. Tapi, kebayang nggak kalau angkutan jenis ini dicobakan di Jakarta. Kira-kira pemandangan apa yang kita bakal dapatkan di sepanjang perjalanan? Bedanya adalah pada cara memperlakukan sungai. Mereka menjaga benar Chao Phraya bahkan ikan-ikannya pun dilarang untuk ditangkapi.
Satu lagi hal penting yang dipunyai Bangkok adalah ruang terbuka. Sebuah sore, ketika aku terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan, aku menikmati duduk di deretan panjang bangku sambil mengamati air mancur cantik di sebuah plaza terbuka di antara stasiun sky train dan sebuah sentra belanja. Di tempat lain, ada bangku-bangku taman kota yang selalu dipenuhi burung-burung merpati, taman di tepi danau yang menjadi tempat istirahat saat kelelahan belanja di Chatuchak (pasar terbesar di Asia Tenggara yang buka cuma pas weekend) atau menyengaja jogging dan senam di Lumphini.
Aku inget Jakarta. Dulu, gedung Danamon di perempatan Karet yang sekarang dibeli oleh Sampoerna punya plaza dengan bangku-bangku yang selalu ramai terutama saat jam pulang kantor. Terkadang, tak sekadar menunggu bis di sana, tetapi juga sejenak melepas penat atau menjadi titik pertemuan dengan teman. Tapi plaza itu tidak lama, seiring berganti-gantinya kepemilikan gedung itu. Dan sekarang, mungkin kita tidak bisa lagi berharap.
Kalau kita berani capek-capek promosi Visit Indonesia 2008, mestinya jangan biarkan tamu-tamu kita (atau bahkan orang kita sendiri) kebingungan mencari tahu rute bis kota atau kenapa justru penjual teh botol di pinggir jalan lah yang menyediakan bangku-bangku pelepas lelah dalam perjalanan?
Khawp khun kha…
Satu lagi hal penting yang dipunyai Bangkok adalah ruang terbuka. Sebuah sore, ketika aku terlalu lelah untuk meneruskan perjalanan, aku menikmati duduk di deretan panjang bangku sambil mengamati air mancur cantik di sebuah plaza terbuka di antara stasiun sky train dan sebuah sentra belanja. Di tempat lain, ada bangku-bangku taman kota yang selalu dipenuhi burung-burung merpati, taman di tepi danau yang menjadi tempat istirahat saat kelelahan belanja di Chatuchak (pasar terbesar di Asia Tenggara yang buka cuma pas weekend) atau menyengaja jogging dan senam di Lumphini.
Aku inget Jakarta. Dulu, gedung Danamon di perempatan Karet yang sekarang dibeli oleh Sampoerna punya plaza dengan bangku-bangku yang selalu ramai terutama saat jam pulang kantor. Terkadang, tak sekadar menunggu bis di sana, tetapi juga sejenak melepas penat atau menjadi titik pertemuan dengan teman. Tapi plaza itu tidak lama, seiring berganti-gantinya kepemilikan gedung itu. Dan sekarang, mungkin kita tidak bisa lagi berharap.
Kalau kita berani capek-capek promosi Visit Indonesia 2008, mestinya jangan biarkan tamu-tamu kita (atau bahkan orang kita sendiri) kebingungan mencari tahu rute bis kota atau kenapa justru penjual teh botol di pinggir jalan lah yang menyediakan bangku-bangku pelepas lelah dalam perjalanan?
Khawp khun kha…
Labels:
bangkok,
kota,
ruang kota,
ruang publik,
ruang terbuka,
transportasi publik
Lebak Bulus Undercover
Sebuah sore di Stadion Lebak Bulus dalam pertandingan Persija melawan Persib. Ini pertandingan bola live pertamaku. Aku bukan penggemar dan sejujurnya tidak tahu apa-apa tentang sepak bola. Tetapi aku bersama seorang teman yang bercerita tentang ketakjubannya menonton pertandingan pertamanya dalam kenangan gandengan tangan ayahnya saat ia duduk di kelas satu SD dan sejak itu pula ia tidak pernah melewatkan pertandingan yang melibatkan tim kotanya, Bandung. Sepak bola dan Persib menjadi bagian dari kesehariannya di gang yang kemudian melahirkan kelompok suporter dengan anggota lebih dari 20.000 orang: Viking.
Masalahnya, Lebak Bulus sama sekali bukan tempat yang aman untuk suporter berseragam selain oranye. Setidaknya untuk sore itu. Tiga kali terjadi tepat di belakangku orang berkelahi. Satu kalimat yang aku ingat dalam perkelahian itu adalah, “Periksa KTP-nya!” Kalau ketahuan orang Bandung, dijamin nggak selamet keluar dari stadion. Ini yang bikin aku ciut selama pertandingan dan nggak berhenti membisikkan doa, sekalipun kami dalam penyamaran kostum oranye di tribun VIP.
Stadion bergemuruh. Lagu-lagu dukungan tim oranye menggema selain makian terhadap tim lawan. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan temanku dalam penyamarannya. Ia harus ekstra hati-hati: tidak boleh kelepasan bicara dengan logat Sundanya atau spontan mengaktualisasikan dukungannya pada Persib. Mungkin ia merasa bersalah harus memakai kaos oranye sore itu. Sementara tak jauh di sebelah kiri kami seorang suporter perempuan memakai kaos yang bertuliskan makian terhadap suporter Persib. Di depan kami, seorang laki-laki mengikatkan kaos biru di sepatunya sehingga selalu terinjak setiap ia melangkah. Sore itu, kiper lawan terkena lemparan batu dan bis berpelat D yang mengangkut timnya rusak berat.
Barangkali ini bukan tentang Persija melawan Persib karena dalam nyanyian mereka jelas-jelas tersebut makian kepada The Jak atau Viking. Barangkali ini bukan lagi memaknai suatu pertandingan karena bahkan di lain hari ketika Persija melawan yang lain, tetap saja nyanyian makiannya ditujukan untuk Viking. Demikian juga sebaliknya, ketika Persib melawan Slemania di Jogja, ritual para suporter dimulai dengan membakar bendera oranye. Barangkali ini bukan tentang sepak bola karena dalam perjalanan wisata di Jogja, seorang beratribut Persib ‘disapa’ oleh anggota The Jak dan dipaksa melepas atribut birunya. Barangkali ini tentang Jakarta dan Bandung.
Tapi yang pasti, The Jak maupun Viking telah memberi identitas kepada orang-orang muda yang selama ini tidak mendapat tempat di ruang formal karena dianggap bandel. Dan stadion, adalah arena aktualisasi diri. I love the game!
Masalahnya, Lebak Bulus sama sekali bukan tempat yang aman untuk suporter berseragam selain oranye. Setidaknya untuk sore itu. Tiga kali terjadi tepat di belakangku orang berkelahi. Satu kalimat yang aku ingat dalam perkelahian itu adalah, “Periksa KTP-nya!” Kalau ketahuan orang Bandung, dijamin nggak selamet keluar dari stadion. Ini yang bikin aku ciut selama pertandingan dan nggak berhenti membisikkan doa, sekalipun kami dalam penyamaran kostum oranye di tribun VIP.
Stadion bergemuruh. Lagu-lagu dukungan tim oranye menggema selain makian terhadap tim lawan. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan temanku dalam penyamarannya. Ia harus ekstra hati-hati: tidak boleh kelepasan bicara dengan logat Sundanya atau spontan mengaktualisasikan dukungannya pada Persib. Mungkin ia merasa bersalah harus memakai kaos oranye sore itu. Sementara tak jauh di sebelah kiri kami seorang suporter perempuan memakai kaos yang bertuliskan makian terhadap suporter Persib. Di depan kami, seorang laki-laki mengikatkan kaos biru di sepatunya sehingga selalu terinjak setiap ia melangkah. Sore itu, kiper lawan terkena lemparan batu dan bis berpelat D yang mengangkut timnya rusak berat.
Barangkali ini bukan tentang Persija melawan Persib karena dalam nyanyian mereka jelas-jelas tersebut makian kepada The Jak atau Viking. Barangkali ini bukan lagi memaknai suatu pertandingan karena bahkan di lain hari ketika Persija melawan yang lain, tetap saja nyanyian makiannya ditujukan untuk Viking. Demikian juga sebaliknya, ketika Persib melawan Slemania di Jogja, ritual para suporter dimulai dengan membakar bendera oranye. Barangkali ini bukan tentang sepak bola karena dalam perjalanan wisata di Jogja, seorang beratribut Persib ‘disapa’ oleh anggota The Jak dan dipaksa melepas atribut birunya. Barangkali ini tentang Jakarta dan Bandung.
Tapi yang pasti, The Jak maupun Viking telah memberi identitas kepada orang-orang muda yang selama ini tidak mendapat tempat di ruang formal karena dianggap bandel. Dan stadion, adalah arena aktualisasi diri. I love the game!
Subscribe to:
Posts (Atom)