Musim hujan di Jakarta selalu punya cerita, seperti sore itu di jalan depan mall Ambasador/ITC Kuningan yang berseberangan dengan kawasan Mega Kuningan. Di tengah-tengah badan jalan, ada saluran air (sungai ungu)* dan boulevard bertanah merah. Tanah merah inilah yang sering jadi masalah.
Aku sering ke kawasan itu. Sering pula melewati tanah basah sisa siraman hujan di sana dan harus kuakui, pengalaman itu cukup menyulitkan. Tanah merah itu menjadi sangat liat setelah basah disiram air hujan. Saat terinjak, tanah akan menggumpal dan terbawa di bagian bawah sepatu kita. Kalau sudah begitu, hati-hati melangkah. Bukan saja telapak kaki jadi terasa berat, tetapi basah di tahan merah itu juga sangat licin saat kaki menapak.
Aku pernah ketemu seorang perempuan yang tampak ragu melewati titian besi untuk menyeberangi sungai ungu menuju Mal Ambasador. Waktu itu, aku berada di sisi seberangnya. Setengah ia berjalan meniti besi, aku mengulurkan tangan memberi bantuan. Ia berterima kasih lalu mengadu, bahwa ia begitu ketakutan melangkah karena baru saja terpeleset. Sewaktu ia sudah lewat, aku meniti besi itu pelan-pelan. Nggak lucu kan kalau setelah nolong orang, aku sendiri yang kepleset! Hehehe…
Sampai di seberang jalan, tapak sepatu kedsku sudah penuh lumpur. Tidak terlalu menyulitkan saat melintas di jalan aspal, tetapi tidak saat aku berjalan di atas trotoar yang berlantai keramik. Aku menjadi mengerti mengapa mbak tadi begitu ketakutan melangkah. Semakin mengerti lagi ketika seorang pemuda terpeleset tepat di depanku. Untung ia segera berpegangan pada sebatang pohon. Lumpur di tapak sepatu dan genangan air di trotoar keramik adalah dua hal berbahaya. Kini keduanya harus dihadapi bersamaan.
Demi menghindari kecelakaan, aku mencoba membersihkan tapak sepatu. Pertama-tama aku mencari sudut semen untuk mengerik lumpur di tapak sepatu. Setelah itu aku memanfaatkan air yang menggenang di trotoar untuk mencuci tapak sepatu. Sedikit berkecipak. Hasilnya memang lumayan, tapi tidak seratus persen nyaman berjalan di trotoar basah itu. Akhirnya, aku memilih berjalan di atas rumput di sisi trotoar, di depan air mancur dan tugu bertuliskan Mega Kuningan. Rumput itu seperti keset. Tanahnya tidak lagi liat dan licin setelah ditutup rumput dan aku tidak takut lagi terpeleset. Selain itu, saat berjalan di atasnya aku bisa sekalian membersihkan sisa tanah di tapak sepatuku.
Harus diakui, lantai keramik bukan gunanya untuk melapisi trotoar apalagi di tempat yang sering mendapat siraman hujan. Keramik tidak mempunyai pori-pori untuk meresapkan air. Akibatnya, air hujan menggenang. Tapak sepatu yang dilekati lumpur menjadi dua kali lebih beresiko terpeleset di atas trotoar.
Aku juga pernah membaca di koran beberapa waktu lalu, jika trotoar terbuat dari bahan yang tidak meresapkan air maka semakin kecil daerah resapan air. Akibatnya air hujan yang tidak tertampung di selokan akan mengalir ke badan jalan yang lebih rendah. Ya udah, banjir deh namanya. Lalu macet. Katanya, konblok adalah bahan yang cukup baik. Tapi rumput juga menyenangkan menurutku…
* Baca “Sungai Ungu Jakarta” di bagian sebelumnya.
Wednesday, December 21, 2005
Thursday, December 01, 2005
siasat botol air
Kemarin aku kehilangan botol air: wadah transparan, warna biru, merek nalgene. Sepertinya ketinggalan di kantin belakang kampus. Anehnya, hari itu aku beberapa kali menimang dan merasa bahwa aku melakukan sesuatu yang tepat dengan membeli botol itu dan membawa air dari rumah setiap hari.
Ada banyak alasan untuk membawa air sendiri. Yang pertama jelas penghematan. Setidaknya aku bisa menyimpan dua ribu rupiah setiap hari, itu pun hanya untuk sebotol aqua atau teh botol sekali minum. Lebih dari itu, aku bisa minum setiap saat aku haus.
Lalu aku baru denger ada cerita tentang aqua isi ulang. Ini cerita dari Ige, temen di kampus. Dia cerita kalau sodaranya ngeliat ada orang yang lagi ngisiin gelas-gelas aqua di kamar mandi terminal! Oops! Udahnya air ledeng, di kamar mandi terminal lagi! Yang aku bayangin, kamar mandi itu bukan tempat yang menyenangkan sama sekali. Aqua-aqua itu lalu ditutup lagi dengan plastik segelnya, dilem, lalu dijual seperti biasa, tanpa rasa bersalah.
Masih berpikir untuk beli aqua sembarangan?
Anyway, ini Jakarta. Ada banyak artificial di sana. Tak hanya sikap, basa-basi, atau gaya hidup. Tapi juga pewarna pada lontong, terasi, sampai kerang laut. Formalin pada tahu, bakso, ikan asin, bahkan ikan laut segar. Juga campuran – entah apa namanya – untuk ketupat, bubur ayam, sampai daun singkong di warung padang.
Mungkin karena orang lebih mementingkan bungkus dari pada isinya. Kalau baca artikelnya Samuel Mulia, orang bisa bersiasat segala macem untuk bisa pake tas Louis Vitton. Di bagian lain Jakarta, orang menyiasati penampilan makanan dengan pewarna atau campuran kimia lainnya. Masih pengen beli makanan di jalan?
Udah deh, mending bawa botol air kemana-mana. Kalau perlu sama paket makan siang nasi dari rumah… Irit dan lebih aman. Hehehe…
Labels:
gaya hidup,
jakarta,
kota,
pedestrian,
ramah lingkungan
Subscribe to:
Posts (Atom)