Jarang-jarang naik KRL. Tapi kalau Jakarta-Depok memang sebaiknya naik KRL. Aku sih seneng-seneng aja karena di kereta - apalagi yang ekonomi, suka banyak orang jualan. Mulai dari iket rambut, tahu, mainan, buah yang sudah dipacking 5.000an dan lain-lain. Aku seneng-seneng aja. Mungkin karena jarang naik KRL dan seringnya melawan arus commuter jadi nggak pernah sampai desak-desakan banget.
So, pagi-pagi aku sudah sampai Cikini. Di loket aku tanya kereta apa yang paling duluan berhubung sedang dikejar waktu. Kata petugasnya, kereta ekonomi. Ya sudahlah, naik ekonomi toh seru juga... Naiklah kita ke peron untuk menunggu kereta.
Semenit... dua menit... lima menit... Mana, ni keretanya? Yang ada malah kereta api lewat lalu berhenti di ujung peron. Lho kok?
Ternyata sedang ada masalah. Ternyata ada kereta yang mogok. Berhubung relnya jadi satu (KA dan KRL), jadi banyak kereta harus mengantre. Satu kereta lewat, dua, lalu tiga... Masih saja bukan KRL yang lewat... Duh, padahal lagi buru-buru...
KRL pertama yang lewat ternyata ekonomi AC Depok. Dipikir-pikir, dari pada ilang waktu mending naik aja. Nanti bayar denda di atas deh, karena toh nggak mungkin turun ke loket untuk beli tiket ekonomi AC. Yang ada, pas naik keretanya udah pergi.
Maka naiklah ke KRL tu. Eh, di kereta nggak ada petugas tiket sampai tiba di stasiun Depok. Kejadian ada di petugas peron stasiun Depok. Dia tanya, kenapa tiketnya ekonomi padahal naiknya AC. Ya aku jelasin aja masalahnya karena bukan mauku juga menipu petugas. Kan di loket tiket tadi sudah minta kereta yang paling cepat. Bayar denda ngga papa sebetulnya, kan udah niat. Tapi, eh, slip denda abis... Nah loh! Akhirnya aku dikasih tiket seharga denda: Rp10.000,- sebagai ganti slip denda.
Hmmm... Mungkin bukan masalah besar. Denda toh tinggal dibayar dan tidak berat. Tapi kepikiran aja, gimana penumpang mau tertib kalau pengelola KA & KRL sendiri masih nggak tertib. Aku cuma berandai-andai, coba ada informasi yang benar tentang jadual kereta, coba ada petugas tiket di atas kereta, coba ada slip denda untuk orang terdenda... Pasti perjalanan kereta jadi lebih asyik. Ayo, siapa hendak turut?
Tuesday, August 11, 2009
Monday, August 03, 2009
basa-basi untuk pejalan kaki
Sebuah rutinitas baru mengantarku bolak-balik ke Dharmawangsa. Dengan Kopaja 614, aku biasa turun di halte Grand Wijaya. Bis akan berbelok ke kanan, kembali ke Jalan Fatmawati sementara aku berjalan kaki belok ke kiri menuju Dharmawangsa Square. Di sinilah trotoar berbasa-basi.
Basa-basi aku bilang, karena dia menyapaku dengan rambu yang memberi arah bagi pejalan kaki. Tepatnya setelah berbelok ke jalan Dharmawangsa, trotoar tiba-tiba terpagari rantai besi. Ada celah selebar mungkin 40 senti di antara dua tiang warna kuning-hitam. Dua tiang itu dihubungkan dengan besi melintang dengan tinggi sekitar 10-20 senti dari atas tanah. Di sebelahnya terpancang rambu bertuliskan "Pintu Pejalan Kaki".
Basa basi aku bilang, karena kemudian pejalan kaki diharapkan melewati celah itu. Artinya, kita harus melompati palang itu. Artinya, kita diharapkan punya dua kaki yang sehat dan kalau bisa jangan kegendutan kalau tidak ingin kesulitan menempuh 'pintu pejalan kaki' itu. Kalau tidak, kita harus berjalan di atas aspal dengan kendaraan kencang dari arah belakang karena pagar rantai kompleks ruko Dharmawangsa itu memagari sepanjang trotoar, hingga tepat berbatasan dengan aspal. Juga kalau kita hendak menyeberang ke gedung The City Walk di depannya, kita harus melompati rantai besi pagar trotoar itu. Pun kalau menunggu angkutan umum, siap-siap melompat pagar rantai kalau bis yang dinanti sudah tampak dari tikungan.
Trotoar di Jalan Dharmawangsa itu seperti dimonopoli oleh kompleks rukonya. Pagar rantai yang membatasinya dengan jalan, membuat halaman ruko seolah lebih luas dan dimanfaatkan untuk menempatkan pot-pot besar tanaman dan memaksimalkan parkiran mobil di sana. Padahal area itu seharusnya menjadi jalur pedestrian.
Tiba-tiba ingatan kembali di pertengahan tahun 1998, ketika aku dan teman-teman berkampanye 'aksesibilitas for all' di sepanjang Malioboro yang saat itu kami nilai tidak ramah buat pejalan kaki, khususnya bagi difabel, ibu hamil, orang tua, atau anak-anak. Ini kejadian lebih dari sepuluh tahun lalu di Jogja.
Lalu kini di Dharmawangsa, di Jakarta? Hari geenee belum aksesibel? Please, deh...
Tiba-tiba ingatan kembali di pertengahan tahun 1998, ketika aku dan teman-teman berkampanye 'aksesibilitas for all' di sepanjang Malioboro yang saat itu kami nilai tidak ramah buat pejalan kaki, khususnya bagi difabel, ibu hamil, orang tua, atau anak-anak. Ini kejadian lebih dari sepuluh tahun lalu di Jogja.
Lalu kini di Dharmawangsa, di Jakarta? Hari geenee belum aksesibel? Please, deh...
Labels:
aksesibilitas,
jakarta,
kota,
pedestrian,
trotoar
Tuesday, June 23, 2009
susah-susah Sampah
Bibi di rumah mengeluh. Katanya, buang sampah aja kok susah. Tadinya kita membuang sampah di TPS pasar yang setiap hari diambil oleh dinas kebersihan. Belakangan, TPS pasar dijaga satpam 24 jam. Katanya, yang membuang sampah di situ mesti bayar Rp1.000/hari atau Rp20.000/bulan. Tapi ternyata tidak selesai dengan uang karena tetap saja kami tidak boleh buang sampah di sana. Kata satpam lagi, TPS itu bukan untuk RT kami...
RT kami? Dulunya ada Bapak yang rutin mengutip sampah se-RT. Sebagai gantinya, kami patungan uang kebersihan untuk si Bapak yang diberikan melalui RT. Tapi belakangan si Bapak sakit, dan sampai hari ini belum ada penggantinya. Sementara, sampah terus diproduksi. Setiap hari. Setiap rumah.
Masalah tidak saja bagaimana mengelola sampah sendiri, tapi juga sampah orang. Lagi-lagi, ini keluhan si Bibi. Katanya, sering orang buang sampah di boks semen depan rumah. Memang sih, boks itu dibikin untuk tempat sampah. Tapi sejak Pak Sampah tidak datang, lebih baik sampah tidak dibuang di sana karena toh tidak ada lagi yang mengutipnya. Lalu tempat sampah ditutup dengan papan. Sialnya, papan sempat hilang dan beberapa kali Bibi memergoki orang bermotor yang melemparkan kantong sampahnya ke sana. Itu artinya, Bibi kebagian tugas mengelola lebih banyak sampah, sampah orang.
Akhirnya sampah kering dibakar di halaman rumah. Botol-botol plastik dipisahkan karena bisa dijual. Sisanya, Bibi terpaksa melemparkan sampah ke lahan kosong berpagar seng tak jauh dari rumah. Aku pernah ke sana dan sedih melihat tempat itu ternyata jadi bukit sampah. Lebih sedih lagi melihat got di ujung jalan yang sekarang penuh sampah. Rupanya, orang membuang sampah di got yang tidak sepenuhnya tertutup itu. Pagi dan sore, air got meluap ke jalan karena tidak bisa lagi mengalir. Sungguh, pemandangan yang tidak menyenangkan. Belum lagi tumpukan sampah di sebelah halte. Juga di belakang halte seberangnya.
Aku ingat pesan aktivis lingkungan untuk membuang sampah pada tempatnya. Tapi di mana tempatnya?
Ini Jakarta. Di mana orang punya sejuta cara membuang sampahnya.
RT kami? Dulunya ada Bapak yang rutin mengutip sampah se-RT. Sebagai gantinya, kami patungan uang kebersihan untuk si Bapak yang diberikan melalui RT. Tapi belakangan si Bapak sakit, dan sampai hari ini belum ada penggantinya. Sementara, sampah terus diproduksi. Setiap hari. Setiap rumah.
Masalah tidak saja bagaimana mengelola sampah sendiri, tapi juga sampah orang. Lagi-lagi, ini keluhan si Bibi. Katanya, sering orang buang sampah di boks semen depan rumah. Memang sih, boks itu dibikin untuk tempat sampah. Tapi sejak Pak Sampah tidak datang, lebih baik sampah tidak dibuang di sana karena toh tidak ada lagi yang mengutipnya. Lalu tempat sampah ditutup dengan papan. Sialnya, papan sempat hilang dan beberapa kali Bibi memergoki orang bermotor yang melemparkan kantong sampahnya ke sana. Itu artinya, Bibi kebagian tugas mengelola lebih banyak sampah, sampah orang.
Akhirnya sampah kering dibakar di halaman rumah. Botol-botol plastik dipisahkan karena bisa dijual. Sisanya, Bibi terpaksa melemparkan sampah ke lahan kosong berpagar seng tak jauh dari rumah. Aku pernah ke sana dan sedih melihat tempat itu ternyata jadi bukit sampah. Lebih sedih lagi melihat got di ujung jalan yang sekarang penuh sampah. Rupanya, orang membuang sampah di got yang tidak sepenuhnya tertutup itu. Pagi dan sore, air got meluap ke jalan karena tidak bisa lagi mengalir. Sungguh, pemandangan yang tidak menyenangkan. Belum lagi tumpukan sampah di sebelah halte. Juga di belakang halte seberangnya.
Aku ingat pesan aktivis lingkungan untuk membuang sampah pada tempatnya. Tapi di mana tempatnya?
Ini Jakarta. Di mana orang punya sejuta cara membuang sampahnya.
Subscribe to:
Posts (Atom)