Wednesday, October 19, 2011

tragedi E-KTP

Aku officially menjadi penduduk Jakarta sejak Juni 2009. Tepatnya setelah menikah, kami memutuskan membuat KK di Jakarta. Pertimbangannya, kalau nanti pindah rumah akan lebih mudah mengurusnya. Ngga perlu ke Jogja, atau Bandung tempat Dodi.

E-KTP adalah salah satu konsekuensi menjadi penduduk Jakarta. Datanglah undangan itu ke rumah, di antar oleh Pak RT yang sempat mengeluh, "Banyak warga yang saya ngga kenal. Cuma baca namanya di KK aja, tapi ngga tau orangnya yang mana." Hehehe... Maaf ya Pak RT...

Lalu kami ke kelurahan hari Senin, hari yang dijanjikan dalam surat undangan: bahwa hari itu kelurahan khusus melayani RW 004. Pukul dua kami mengambil nomer antrean untuk foto dan lain-lain, dapat nomer cantik 131. Saat itu, yang sedang diproses adalah nomer antrean 60-an. Katanya paling baru jam empat dipanggil. Oke deh, kami pulang dulu.

Pukul empat, kami kembali lagi. Kelurahan masih penuh dengan orang. Beberapa duduk di depan ruang foto, ada juga yang di teras kelurahan, juga di sekitar parkiran motor. Mungkin banyak juga yang pulang dan menunggu di rumah sepertiku. Antrean yang masuk baru nomer 90-an. Ini nomer keluarga Risma yang mengambil antrean sejak pukul sebelas. Kami memutuskan pulang lagi, dan kembali nanti setelah magrib.

Pukul tujuh malam. Untuk ke-tiga kalinya dalam hari ini kami ke kelurahan. Pas sekali nomor antrean kami yang seharusnya dipanggil masuk ruang foto. Seharusnya. Karena kemudian ibu kelurahan mengumumkan komputer error. Katanya hang. Selain itu karena tadi siang tiga kali mati lampu. Tapi mungkin juga ada alasan lain. Hari sudah malam, dan antrean masih lumayan (setahuku masih ada sampai 150-an), selain itu tampang mas operator komputernya juga udah kucel, mungkin juga bau ketek sedikit karena AC ruangan ngga dingin. Orang-orang kelurahan itu tampak berunding sebentar sebelum mengumumkan bahwa kami bisa kembali lagi besok, dan dijanjikan tanpa antrean.

Besok. Bagaimana dengan yang udah susah-susah cuti hari ini cuma untuk nongkrongin kelurahan seharian? Sabtu dan minggu tetap dilayani kok, demikian ibu kelurahan berdalih lagi. Gimana yang kerja seharian? Kami buka sampai malam, ini aja karena komputernya rusak, katanya.

Aku pulang terakhir, cuma untuk tanya, sampai kapan pemotretan akan berlangsung karena kami sering keluar kota. "Oh, lama kok. Sampai Desember," katanya seolah-olah sudah memberikan solusi terbaik hari ini.

Gubrak!!! Waktu masih lama, kenapa hari ini kita harus empet-empetan antre seharian. Aku sama sekali ngga habis pikir. Oke then, sampai jumpa lagi -- kalau jumpa lagi. Aku ngga tau apa masih pengen dateng lagi untuk foto E-KTP. Ilfil.

Rumit ya, mau ganti KTP aja. Ada aja yang bikin susah, ya birokrasi lah, ya komputer rusak lah. Padahal ini Jakarta. Gimana di luar kota, luar pulau?

Tiba-tiba aku teringat pengalaman delapan tahun lalu saat masih bekerja pendampingan di desa-desa di Jambi. Di desa Jernih yang sungainya cantik, sedikit sekali warga yang memiliki KTP. Bisa dibilang, KTP adalah barang mewah untuk dimiliki sementara kebutuhan primer mereka masih sulit untuk dipenuhi. Sementara untuk membuat KTP mereka harus ke kecamatan yang berjarak lebih dari 20 km.

Tanpa kendaraan sendiri, jarak ini bisa diatasi dengan membayar ojek sebesar 25-30 ribu rupiah atau naik mobil tambang untuk ongkos lebih murah. Tapi mobil tambang hanya lewat satu kali pada pukul 6 pagi untuk ke kota kecamatan, dan akan kembali pada sore harinya. Sudah pasti akan terbuang waktu bekerja satu hari. Belum lagi ongkos yang dibutuhkan untuk membuat pas photo sebagai syarat membuat KTP.

Aku pun coba membayangkan, dengan kondisi mereka dan kerumitan membuat KTP, kira-kira kapan ya warga di sana dibikinin e-KTP? Padahal seharusnya, KTP adalah hak kita yang harus dipenuhi oleh negara. Tapi kenapa jadi susah ya?

Anyway, kami pulang. Dodi kembali mengetik thesis yang hari ini tiga kali ditinggalin untuk ke kelurahan. Aku kembali bersenang-senang dengan mesin jahitku.


Saturday, October 15, 2011

serba besar di Cina

Ini tulisan lama, oleh-oleh perjalanan ke China tahun lalu saat menghadiri UN-NGO-IRENE Asia Pacific 5th Conference. Konfrensi sehari, workshop tiga hari, sisanya adalah fieldtrip alias jalan-jalan. Ini adalah paket liburan yang menyenangkan!

Impresi pertama saat tiba di Cina adalah segala sesuatu yang serba besar. Tak hanya fakta bahwa Cina adalah negara dengan daratan besar dan jumlah penduduk yang juga besar, tapi di Beijing, kota pertama yang aku singgahi, aku banyak melihat hal-hal besar seperti gedung-gedung besar (bukan hanya tinggi), jalan-jalan, ruang terbuka, serta tembok-tembok kota yang juga besar. Dan hari-hari selanjutnya aku melihat hal-hal besar lainnya yang mereka miliki.




Ternyata bukan aku saja yang berpikir demikian. “They always think about big things. They never think small things!” demikian komentar Chalida, aktivis perempuan dari Thailand yang bersamaku dalam 12 hari kunjungan ke Cina pada 28 Maret-8 April 2010 lalu. Kami berada di negeri tirai bambu sepanjang hampir dua minggu itu untuk menghadiri UN-NGO-IRENE Asia Pacific 5th Conference yang diselenggarakan di Kota Xining, Provinsi Qinghai, pada tanggal 2 April 2010. Meski konferensi hanya memakan waktu satu hari, namun China NGO Network for International Exchanges (CNIE) selaku organisasi tuan rumah menjamu 11 peserta konferensi yang berasal dari  9 negara asing yang diundang untuk mengikuti serangkaian workshop, kunjungan lapangan, serta kunjungan ke obyek-obyek wisata bersejarah di Beijing, Xining dan Shanghai.

Cina memasuki musim semi saat kami tiba. Salju sudah tidak lagi turun dan bunga mulai mekar namun cuaca tetap saja terasa dingin. Temperatur udara berkisar antara 10°C di Beijing dan Shanghai serta 5°C di Xining, bahkan lebih dingin lagi di daerah pegunungan Tibet-Qining yang sempat kami kunjungi. Menurut seorang panitia, memasuki bulan Maret biasanya cuaca sudah mulai hangat, namun karena tahun ini musim dingin lebih panjang maka suhu udara pun lebih sejuk. Selain Indonesia, Thailand serta dari China sendiri, peserta lain berasal dari Filipina, India, Banglades, Pakistan, Turki, Uzbekistan dan Kazakstan. Mereka adalah pegiat-pegiat NGO. 

Kegiatan ini diawali dengan tiga hari workshop di Beijing dengan topik “Sustainable Development and Harmonious Social Progress in Outlying Regions” dengan pembicara dari beberapa NGO di China di bidang pemberdayaan perempuan, orang muda, serta etnik minoritas. Berbicara mengenai NGO di Cina berbeda dengan tipikal NGO di Indonesia maupun beberapa negara lain. NGO Cina bergerak di bawah koordinasi pemerintah dan  karenanya menjadi partner pemerintah dalam menjalankan program-program pembangunan dan pemberdayaan, serta peran serta politik bagi warganya. Ini tentu saja dipengaruhi sistem politik di Cina. Untuk bebebrapa hal, kita bisa menjustifikasinya sebagai kontrol negara yang amat kuat, namun di sisi lain bisa juga diartikan bahwa pemerintah Cina ingin mengurusi segala sesuatu yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini aku simpulkan dari pengalaman kunjungan lapangan.

Di Shanghai misalnya, kami mengunjungi sebuah Community Service Center yang dikelola oleh suatu komunitas – kelompok pemukiman, satu komunitas bisa meliputi 100 blok rumah susun atau lebih – dengan pendanaan dari pemerintah. Service Center ini mengurusi berbagai keperluan kependudukan dalam satu atap seperti pengurusan kartu identitas, registrasi pernikahan, asuransi kesehatan, asuransi manula, subsidi orang miskin, pelatihan tenaga kerja, konsultasi usaha kecil, dan lain-lain. Negara kita sebetulnya juga memiliki jenis-jenis pelayanan tersebut namun masing-masing punya ‘kantornya’ sendiri dan bahkan saling berjauhan.

Bagian paling serius dalam perjalanan ini adalah konferensi UN-NGO-IRENE yang diselenggarakan di Kota Xining, ibukota Provinsi Qinghai. Masing-masing peserta mempresentasikan makalah yang telah disiapkan sebelumnya. Di bawah tema besar “Women Empowerment in Development of Oultying Regions”, peserta dibagi ke dalam tiga sesi dengan tiga tema berbeda yaitu Present Situation of Women in the Outlying Region, Empowering Woman for Economic and Social Development in the Outlying Region, serta Tapping the NGO Resource for Women Development in the Outlying Regions. Tema ini menjadi kaya dengan presentasi peserta dari organisasi yang bergerak di tingkat grass root seperti kondisi perempuan di daerah rural yang terpaksa berjalan dua sampai tujuh jam setiap hari untuk mengambil air bagi keluarganya sebagaimana diceritakan oleh Joe Madiath dari India; perempuan di tengah konflik agama di Thailand selatan yang didampingi oleh Chalida, dan aku sendiri bercerita tentang perempuan suku Orang Rimba yang tengah menghadapi berbagai persoalan berkaitan dengan perubahan lingkungan tempat hidupnya. Sementara beberapa organisasi lain bercerita tentang program pemberdayaan perempuan yang dilakukan seperti pemberdayaan perempuan di Tibet, keterlibatan politik perempuan di Uzbekistan, dan lain-lain. Konferensi diakhiri dengan membuat rekomendasi untuk dibawa ke forum UN ECOSOC.

Impresi mengenai ‘kebesaran’ Cina kembali muncul dalam kunjungan-kunjungan ke beberapa obyek wisata. The Great Wall dan Forbiden City misalnya, mengingatkan aku pada komik Chinmi dan Mu Lan di mana kerajaan selalu digambarkan berada dalam tembok benteng yang kokoh. Sementara kunjungan ke beberapa museum memberikan gambaran kontekstual dari banyak pertanyaan mengenai Cina dan kebijakannya, serta kekayaan intelektual yang telah mereka miliki sejak berabad lampau dan terdokumentasi dengan baik sampai kini. Aku juga membaca rencana-rencana masa depan Cina melalui truk-truk dan proyek-proyek konstruksi yang mendominasi pemandangan di Kota Xining setiap hari atau display rencana penyelenggaraan World Expo di Shanghai tahun ini. Dengan besaran sumber daya yang dimiliki tersebut, Cina dan NGO-nya sangat bisa berperan lebih banyak dalam menyuarakan persoalan-persoalan yang dihadapi warga Asia di negara lain di forum internasional, demikianlah yang kami simpulkan dalam diskusi informaal di hari terakhir kami di Cina.



Pada akhirnya aku tidak ingin menyatakan bahwa Cina lebih baik dan Indonesia ketinggalan. Justru dari perjalanan ini aku merefleksikan kembali negeriku. Bahwa Indonesia sebetulnya tak kalah kaya dengan Cina. Kita punya daratan dan lautan, suku-suku dan tradisi yang jauh lebih beragam, alam yang tak kalah indahnya. Tak harus bisa menjadi seperti Cina karena kita punya konteks sejarah dan sistem pemerintahan yang berbeda, tapi kita bisa mempelajari bagaimana mereka mendokumentasikan kekayaan tradisinya, mengelola penduduknya yang besar, dan berusaha melibatkan kelompok-kelompok perempuan, orang muda dan etnik minoritas dalam pengambilan keputusan politik. Dan pada akhirnya kita harus percaya bahwa Indonesia tak kalah besar!