Sunday, August 21, 2011

kapan ya, Jakarta?

Beberapa kali aku menemukan komentar, "Kapan ya, Jakarta bisa seperti ini?" sebagai status atau keterangan foto di facebook milik teman-teman yang sedang jalan-jalan ke luar negeri. Sungguh tidak adil rasanya membandingkan Jakarta dengan kota-kota yang umumnya negara maju. Walaupun rasanya harus jujur kalau kota-kota itu punya kelebihan yang Jakarta tidak (atau kurang) punya, seperti:

1. disiplin


2. informatif

3. jalur pedestrian yang nyaman
4. jalur sepeda yang aman
5. memberi alternatif transportasi bebas polusi
6. modern
7. tersedianya mass rapid transportation yang nyaman
8. ruang terbuka yang ramah pada warganya


9. sungai kota yang bersih dan terawat
10. tertib.
Foto-foto tadi diambil dalam berbagai perjalananku. Dalam perjalanan itu pula aku menyadari bahwa tiap kota (seharusnya) punya karakter sendiri termasuk Jakarta. Siapa bilang kita tidak butuh 10 hal di atas tadi. Tapi kubilang, Jakarta pun perlu punya karakternya sendiri. Tidak perlu menjadi semodern Sanghai atau penuh aturan seperti Singapore. Aku tidak ingin Jakarta menjadi seragam dengan kota-kota lain. Satu contoh terbaik, aku sangat suka pada karakter Bandara Soekarno-Hatta yang mewakili Indonesia dengan ornamen-ornamen etnik, karakter bangunan batu bata, dan juga taman-taman tropisnya. Dibandingkan dengan bandara Singapore, Bangkok, Frankfurt, atau Shanghai, yang didominasi warna metalik yang dingin dan membosankan. Seragam.

Menurutku, Jakarta cuma perlu ramah pada penghuninya, mendengar keluh kesah dalam keseharian mereka dan memfasilitasi tiap warga dengan adil baik itu miskin atau kaya. Selain itu, aku percaya Jakarta punya ceritanya sendiri.

Tuesday, August 16, 2011

unpredictable but fun

Aku menguping pembicaraan seorang teman yang ditanya, menyenangkankah tinggal di Australia? Ia memang baru saja meninggalkan Jakarta untuk kuliah di Canberra. Dan jawabannya adalah, "Di sana membosankan sekali." Bukan, bukan karena Canberra kota kecil yang sangat sepi apalagi jika dibandingkan dengan Jakarta. Melainkan karena, "Semua di sana bisa diprediksi. Kita sudah tahu bisnya lewat mana, akan tiba di halte jam berapa, toko tutup jam berapa. Kita sudah bisa menebak apa yang akan terjadi," begitu katanya.

Aku sendiri membuktikannya saat menginjakkan kaki di benua Kangguru itu. Walaupun deg-degan karena ini pengalaman pertama ke luar Asia (well, kita tahu kultur Asia) tapi toh semua lancar saja karena aku sudah (diberi) tahu bagaimana dari Sidney menuju Canberra dan semuanya tepat seperti petunjuk tanpa opsi lain. Semua teratur dan terprediksi.

Memang beda dengan Jakarta atau kota-kota Indonesia lainnya. Damri bandara jurusan Blok M saja kadang nggak lewat Sudirman untuk menghindari macet. Tapi sungguh menyenangkan karena kita bisa menunggu bis di mana saja, tukang gorengan yang selalu ada kalau lapar di perjalanan, tukang sol sepatu, tukang jahit, tukang payung, dan berbagai service lainnya yang lewat di depan rumah. Adakah itu di Australia? Pastinya tidak.

Dan kitapun ngga pernah tahu kapan bis akan lewat atau malah tidak lewat karena jalurnya berubah, nggak pernah tahu tempat mangkal tukang gorengan karena bisa saja dia tiba-tiba dikejar kamtib, juga tidak tahu apakah hari ini tukang sol sepatu, tukang jahit atau tukang payung lewat, kita bisa mengetuk toko yang mau tutup untuk membeli sesuatu sambil pasang tampang agak memelas, bisa juga menawar harga-harga di pasar. Semuanya jadi penuh kejutan dan petualangan.

Well, selamat menikmati Jakarta!