Sunday, May 29, 2005

"ini Jakarta!"

Baru setengah jam sebelumnya aku mengguman, “ini Jakarta!” sambil berusaha menikmati penantianku dalam hingar suara berbagai jenis musik dari pedagang VCD bajakan di kaki lima, dalam riuh kenek bis mencari penumpang, dalam kerumun orang-orang letih sepulang kerja, dalam kesibukan orang gila yang menari di depan kios VCD. Gerobak jagung, rujak, teh botol, bakpao, dan gorengan berjajar di mulut terminal Senen tempat aku menunggu bis menuju rumah. Menurutku, inilah Jakarta yang sebenar-benarnya, dan bukannya Starbucks, Mc. Donald, atau Hard Rock.

Ini Jakarta, di mana orang-orang berjuang mencari hidup.

Menjelang petang, aku melihat Patas AC nomer 44 bergerak menuju dan melewati pintu terminal tempat aku berdiri. Itu bis menuju rumah! Spontan aku bergerak mengikuti laju bis. Cepat... cepat... lalu...

Swing...

Aku merasakan badanku melayang sesaat, lalu terjatuh.
Jedug!!!
“oops!”

Saat melayang, aku sempat menyesal karena tidak pernah mengingat trik-trik jatuh yang pernah aku denger dari Dodi. Maka dalam hitungan sepersekian detik, aku cuma ingat untuk melindungi kepala. Untuk itu tanganku bekerja dan siku kiri mendarat dengan manis di aspal depan terminal. Botol minuman yang aku pegang, terpental entah kemana. Aku tahu, siku dan telapak tangan yang menjadi penumpuku pasti akan perih sekali nantinya.

Aku sempat mendongak dan melihat seorang laki-laki gendut berkemeja merah tua berlari kencang sekali. Dia pasti si penabrak. Boro-boro nolongin, dia sama sekali tidak berhenti. Lebih gondok lagi ketika menyadari bahwa dia satu bis denganku. Alhasil sepanjang perjalanan aku cemberut dan menatap tajam ke arahnya.

Harusnya memang aku dekati dia dan langsung semprot. Sayangnya aku masih berpikir, “gimana nanti kalau dia cuek, gimana kalau dia nggak ngakuin? Pasti aku juga yang malu.” Ini Jakarta, dan kota ini punya banyak kemungkinan.

Lebih gondok lagi, HP di dalem tas ternyata terbentur cukup keras waktu aku jatuh. Layarnya sempet rusak. Aku jadi nyesel nggak marah ke orang itu. Apalagi mendengar komentar orang-orang rumah waktu aku menceritakan kejadian itu. “Ini Jakarta!” kata mereka sambil tertawa... J

Saturday, May 28, 2005

dan waktu berhenti dalam secangkir kopi...

Sejujurnya aku merasa tidak rela mengeluarkan lebih dari 25 ribu rupiah untuk segelas kopi. Maka, kalaupun aku berada di Starbucks atau semacamnya, bisa dipastikan itu bukan inisiatifku. Paling sering karena ajakan dua adik sepupu perempuanku yang tinggal satu rumah. Aku tidak bisa menolak kebersamaan ini, tetapi benakku tetap saja berhitung setiap kali bertransaksi dengan si barista. Aku suka kopi, tapi tidak suka harganya. Betapapun lezatnya, aku tetap merasa ini tidak masuk akal. Di tempat lain yang tak kalah nyaman, dengan harga segitu aku bisa mendapatkan secangkir kopi plus kroisan daging asap yang enak.

Hal kedua, aku tidak suka cara mereka mengemas minumannya. Harga itu terlalu mahal untuk kemasan murahan mereka. Aku bilang murahan, karena kopi-kopi mereka dihidangkan dalam gelas plastik atau kertas. Sekali pakai, lalu dibuang. Sudah begitu, kita memesan sambil berdiri di depan kasir lalu membawa sendiri minuman-minumannya diiringi musik yang kadang berirama cepat. Menurutku, sama sekali nggak nyambung!

Iya nggak nyambung. Minum kopi kok kayak di restoran fast food. Jauh dari bayanganku tentang minum kopi di cafe: kopi hitam dalam cangkir beling yang menyimpan panasnya dengan baik, suasanya cozy dengan musik yang tenang, obrolan seru dengan teman-teman, membuatku betah berlama-lama bahkan jika aku datang sendirian saja.

Aku jadi inget Jazz Coffee-nya mbak Ani di Jogja dulu. Aku pernah dapet suasana itu di sana. Aku paling sering memesan kopi Toraja, menurutku rasanya agak-agak bau daun. Secangkir berharga lima ribu dan cukup enak untuk menemaniku berlama-lama di sana. Suasananya homy banget dengan mba’ Ani jadi ibu rumah. Pelanggannya saling kenal dan saling bercerita.

Atau warung kopi Jasa Ayah di Ule Kareng, Banda Aceh. Aku ke sana pasca gempa, dan warung itu jadi favorit para relawan. Kopi Aceh dibuat dengan cara yang unik, di saring-saring gitu deh... Trus disajikan dalam gelas-gelas kecil. Empat ribu satu gelas. Di warung lain, ada yang harganya lebih murah. Ruangan tempat minum kopi sih biasa aja. Meja-mejanya berukuran besar dan tertata seperti meja makan. Tapi toh kami selalu betah berlama-lama. Apalagi makanannya enak-enak. Dalam sekali kedatangan, aku bisa pesen telur setengah matang, martabak Aceh, mie Aceh, trus kue-kue basahnya yang enak... Dan, percaya nggak... pertama kali ke sana aku ketemu Fahmi, temen kuliahku di Jakarta yang asal Aceh. Ternyata, itu emang warung kopi yang sering dia ceritakan.

Aku juga inget warung kopi di Sabang. 750 segelas! Aku dan Dodi sampai terkaget-kaget waktu mau bayar. “Berapa?” Dodi mengulang pertanyaan, “Kopinya dua gelas, lho...” Tapi ibu pemilik warung tidak berubah pikiran, “Seribu lima ratus, dua kopi,” katanya.

Memang suasana Jazz Coffee-nya Mba Ani dan warung-warung kopi di Aceh nggak se’mahal’ cafe-cafe di Jakarta. Tapi mereka menawarkan ruang yang nyaman untuk aku kembali, kembali, dan kembali ke sana terus untuk menikmati secangkir kopi yang uapnya mengepul, menyeruputnya pelan-pelan, lalu mengobrol atau sekedar duduk berlama-lama. Dan waktu seperti berhenti di warung-warung kopi ini.

amplop-amplop di bis kota

Temanku punya tas baru. Bahannya kulit, berwarna hitam, berbentuk persegi panjang tegak. Keren sih, tapi menurutku tas itu mirip tas yang dipakai anak-anak kecil ngamen ala karaoke di atas metromini di Jakarta. Tinggal diisi tape, lalu dilubagi pas bagian speaker. Aku ketawa, temanku manyun.

Tapi beneran, tas seperti itulah yang dipakai anak-anak untuk ngamen. Kebetulan aku pelanggan Metromini nomer 69. Sepanjang perjalanan dari terminal Blok M sampai Cipulir, paling tidak dua kali pengaman cilik naik ke atas bis dan beraksi dengan karaoke. Yang pertama naik tak jauh dari terminal Blok M. Sedangkan pengamen kedua, naik di pasar Mayestik. Kadang sendirian, kadang berdua.

Aku ingat betul pengamen perempuan yang naik di daerah Mayestik. Umurnya kira-kira tujuh tahun. Rambutnya merah dan penuh telur kutu. Seperti yang lain-lain, begitu masuk ia langsung membagikan amplop kecil lusuh kepada semua penumpang. Di salah satu sisi amplop ditempel fotokopi tulisan tanggan yang diawali dengan bacaan bismillah dengan huruf arab. Tulisan selanjutnya kurang lebih meminta bantuan untuk biaya sekolah.

Setelah membagikan amplop, ia kembali ke bagian depan Metromini lalu menyalakan tape yang dibawa dengan tas yang mirip punya temanku tadi. Setelah musik mengumandang, mulailah ia menyanyi. Biasanya lagu dangdut. Suaranya lantang agak serak, seserak iringan musik dari tape itu. Selesai menyanyi, ia mengumpulkan amplop-amplop dari tangan penumpang sambil berharap ada yang mengisikan sejumlah rupiah. Demikian, setiap kali, sepanjang perjalanan...

Pengamen kecil itu bukan yang pertama memakai amplop untuk meminta uang. Sebelum ini, cara ngamen dengan membagikan amplop sudah ada. Lagi-lagi di atas bis kota, dan lagi-lagi, saya mengalaminya di atas Mentromini saat melewati pasar Mayestik. Kali ini, amplop dibagikan oleh ibu-ibu dan tidak sedekil milik pengamen kecil. Tulisannya pun lebih rapi. Selain itu, kaset yang diputar bukan lagu dangdut tetapi suara orang berbicara yang diikuti irama kasidah. Intinya, ia meminta sedekah.

Ngomongin amplop, aku jadi teringat kecenderungan di pesta perkawinan sekarang. Tamu undangan kini tidak lagi membawa kado, tetapi cukup menyelipkan amplop dalam kotak yang telah disediakan. Nah, pengamen-pengamen di atas bis kota itu mungkin ikut-ikutan trend ini dan tidak lagi terang-terangan menadahkan tangan mohon bantuan. Juga tidak menadahkan topi atau kantong bekas permen.

Memang, uang yang ditempatkan dalam amplop biasanya bukan uang recehan. Misalnya saja amplop honor, amplop gaji, amplop sogokan untuk wartawan, atau amplop di pesta kawinan. So, mungkin dengan memakai amplop, pengamen-pengamen bis kota itu berharap mendapat rejeki yang lebih besar. Padahal aku sudah memeriksa dengan teliti, di amplop milik pengamen berkutu itu tidak ada tulisan: mohon sumbangan tidak berupa barang atau karangan bunga. Jadi sebetulnya, kita bisa menyumbang apa saja, kan?

Anyway, bis kota terus berjalan mengantarkan saya ke tempat tujuan. Semakin lama, semakin banyak orang yang naik dan turun termasuk berbagai rupa orang minta sumbangan. Ada yang seolah sungkan menyodorkan amplop, ada juga juga yang terang-terangan mengaku baru keluar dari penjara dan kehabisan uang. Ada pengamen dengan gitar, ada yang baca puisi dengan lantang. Ada preman, ibu-ibu, anak-anak, sampai laki-laki berpakaian perempuan. Mereka lebur jadi satu dengan peluh penumpang, teriakan pedagang asongan menawarkan tisu atau permen, gerak cepat copet, serta anak-anak sekolah yang mencoreti kursi bis dengan nama pacarnya. Sesekali terhirup karbon monoksida dari jalanan macet. Sesak. Dan sesak inilah yang dibawa berkeliling oleh bis-bis kota. Dari terminal ke terminal. Tak ada yang ditawarkan selain rutinitas.

kembali menjadi pengumpul cerita

... perjalanan adalah ibu dari peristiwa. Maka mengumpulkan peristiwa yang ditebar di dalamnya tentulah sebuah kemungkinan menarik yang terbuka...

Demikian seorang teman menuliskan pesan, ketika untuk pertama kalinya aku meninggalkan Jogja setelah 25 tahun ternyamankan di sana. Dan aku terus mengumpulkan peristiwa sepanjang perpindahanku dari desa ke desa, dari hilir ke hulu, lalu saat bermain dengan anak-anak di belantara hutan bukit duabelas, Jambi. Begitu banyak peristiwa baru yang aku lihat, aku alami, dan aku rasakan.

Lalu tiba-tiba semuanya terasa biasa. Padahal perjalananku semakin jauh: perkampungan nelayan di pesisir Makassar, tebing-tebing magis Toraja, wajah-wajah muram anak-anak Aceh setelah bencana, kilometer nol di Sabang, dingin lekat udara Brastagi, dan seterusnya, dan seterusnya... Seharusnya ada banyak kisah yang terkumpul.

... begitu terbukanya sehingga seperti udara; suatu kali kau terbangun dan terbiasa...

Temanku benar. Aku menjadi terbiasa dengan perjalanan dan lupa untuk mencatat.

Sampai suatu ketika aku tiba di Jakarta dan mengalami rutinitasnya. Sesungguhnya berawal dari beberapa kesialan, yang disambut dengan kata-kata spontan, “Ini Jakarta!” dari mereka yang mendengar kisahku. “Ini Jakarta!” yang membuat aku menyadari bahwa memang di sini terjadi pengalaman-pengalaman yang tidak terjadi di kota lain. Maka di sini aku sengaja lebih banyak bercerita tentang kisahku di Jakarta.

... Maka satu hal yang dengan sengaja kuingatkan pada mu, teman kecilku yang manis, adalah untuk tidak melupakan mengingat dan mencatat. Agar udara dan peristiwa yang terbiasa itu nanti, bisa jadi luar biasa.

(Aku sangat menyukai sebutan teman kecilku yang manis, entah kenapa)